Thursday, May 20, 2010

Siapa bilang jadi seorang pegawai contact center itu mudah?

Dahulu, saya sendiri beranggapan bahwa pekerjaan sebagai pegawai call center merupakan pekerjaan ecek-ecek yang bisa dilakukan oleh siapapun. Tinggal menggangkat telepon, bicara, menutup telepon, dan selesai. Namun tampaknya anggapan saya itu keliru, setelah hampir tiga bulan lamanya saya bergelut dengan pekerjaan seperti ini, saya pada akhirnya memiliki pemahaman yang berbeda pada pemahaman saya sebelumnya. Pekerjaan yang terlihat mudah ini ternyata jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum terjun dalam pekerjaan ini. Dari sekian banyak hal yang harus dipersiapkan, satu hal utama yang menjadi modal utama adalah kesiapan mental. Meskipun harus diakui pada lapangan pekerjaan apa saja hal yang satu ini juga menjadi hal yang krusial.

Mengapa mental? Seorang customer service officer (CSO) yang berposisi di back office atau yang biasa disebut divisi call center, merupakan sebuah barisan “pion” yang ditempatkan oleh perusahaan di barisan paling depan yang menangani seluruh keluhan, kebutuhan informasi, ataupun saran dari seluruh customer dalam lingkup nasional. Sehingga mau tidak mau seorang CSO harus mampu belajar mengenal berbagai karakter customer agar dapat memberi pelayanan yang memuaskan. Misalnya, saya yang bekerja dia call center sebuah bank swasta nasional akhirnya dapat memahami karakter customer dari latar belakang daerahnya. Jadi, ketika menerima calls dari customer hal pertama saya lihat adalah kode area telepon. Dengan melihat kode area tersebut saya tinggal mempersiapkan cara apa yang paling tepat untuk menghadapi nasabah tersebut. Perbedaan karakter nasabah dari tiap daerah ini bisanya menjadi salah satu hal yang membuat mental menjadi sangat penting. Bukan bermaksud rasialis, primordial atau apapun itu. Tapi sepertinya, dari kacamata antropologi atau sosiologi pun menyepakati bahwa karakter setiap orang salah satunya akan terbentuk dari lingkungan atau daerah yang ditempati. Namun, bukan titik ini yang menjadi inti permasalahan akan tetapi pada titik seorang CSO harus siap mental menghadapi segala situasi dan kondisi. Misalnya, saat saya dibilang “GOBLOK… ANJING!!!” saat menjalani prosedur dan tidak menuruti keninginan nasabah, atau saat saya dibilang “tidak sopan” saat berkata “tidak bisa pak, ini sudah jadi ketentuan”, atau saat teman saya diteriaki “FUCK YOU INDONESIA” oleh seorang ekspatriat, atau hal simple, ketika pertanyaan atau keluhan nasabah terlalu sulit dan seorang CSO dituntut sebisa mungkin menutup permasalahan saat itu juga.

Ketidaksiapan mental seperti ini, tak urung membuat banyak teman saya yang tidak tahan dan akhirnya memilih untuk resign. Bahkan, dua CSO yang kebetulan satu tim dengan saya pernah menangis setelah menerima calls dari nasabah. Tidak hanya itu saja, belakangan ada seorang CSO baru yang langsung resign setelah satu hari bertugas. Padahal, untuk menjadi CSO di bank dimana saya saat ini bekerja membutuhkan proses panjang dan tidak mudah. Selain mental, penguasaan product knowledge juga menjadi hal yang sangat penting. Namun perbedannya adalah, product knowledge bisa diasah seiring berjalannya waktu atau biasa dikenal dengan proses learning by doing. Terlepas dari itu, keduanya merupakan senjata terpenting bagi CSO dalam menghadapai nasabah, apalagi nasabah yang senang sekali mengkait-kaitkan ketidakpuasan dengan media.

ANCAM MEDIA, merupakan senjata andalan nasabah jika keinginannya yang terkadang nyeleneh dan muskil tidak bisa dituruti, atau ketika seorang CSO tidak bisa menangani keluhan nasabah dengan baik. Di titik ini, lagi-lagi bukan nama perusahaan yang dibawa akan tetapi yang sudah-sudah nama CSO juga ikut terbawa. Menghadapi nasabah dengan typical pengancam seperti ini seorang mental CSO juga menjadi senjata paling ampuh. Apalagi jika menghadapi nasabah yang memang suka mencari masalah dan berharap mendapatkan respek lebih dari perusahan. Seperti saat salah seorang rekan saya “bertempur” dengan seorang nasabah dan diakhir pembicaraan nasabah berkata “iya mas, saya memang suka cari-cari masalah sama kalian”. Nah, pekerjaan iseng seperti ini sering sekali menjadikan seorang CSO alih-alih korban pelampiasan kekesalan nasabah. Sehingga, habislah seorang CSO yang tidak bisa menangani nasabah semacam ini.

Seperti yang kita tahu, bahwa media saat ini menjadi pembentuk opini publik yang paling ganas dan berpengaruh dan inilah yang paling dihindari oleh perusahan-perusahan besar serta dihindari oleh CSO manapun. Pada titik ini, kita bisa mengamini bahwa barisan pion CSO secara tidak langsung menjadi penyanggah sekaligus garda pelindung nama baik perusahaan. Ketika nasabah puas dengan pelayanan CSO maka nama perusahaan akan terangkat dan sebaliknya, ketika pelayanan CSO tidak bisa membuat nasabah puas, maka nama perusahaan juga akan terpengaruh. Peran penting inilah yang menjadikan Call Center menjadi bisnis yang besar dan sigifikan. Bayangkan saja, hampir tiap bulan diperusahaan saya bekerja paling tidak ada 20 atau lebih CSO baru yang masuk. Tuntutan dari ribuan nasabah yang menghubungi nomor call center menjadikan kebutuhan CSO call center tidak pernah putus-putus. Income yang ditawarkan juga cukup menjanjikan, apalagi untuk lapisan fresh graduated. Income perbulannya bisa melebihi mereka yang bekerja dibidang yang sifatnya administratif.

Meskipun demikian, saya pribadi tidak menjaminkan diri bahwa pekerjaan sebagai CSO sangat prospektif untuk kedepannya. Sebagai pengalaman dan sekedar referensi kerja mungkin bisa, namun untuk perkerjaan permanen yang prospektif saya belum menemukan jaminannya.

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...