Saturday, August 21, 2010

Batu Kecil dan Pemancing Cilik

Suasana tepian sungai cukup lenggang siang itu. Si batu kecil sedang terdiam ditempatnya berada. Berpikir soal berbagai kemungkinan hadirnya teman dalam hidupnya. Bagaimana tidak, si batu kecil adalah satu-satunya batu dengan ukuran kecil yang hidup ditepian sebuah sungai diantara puluhan batu dengan ukuran yang jauh lebih besar darinya. Hampir setiap hari atau bahkan setiap saat si batu kecil diejek oleh batu-batu besar lainnya. Dia, si batu kecil, di ejek karena ukurannya kecil dan semua batu besar dengan angkuhnya selalu menyombong soal ukuran dan kekuatan.



Dalam sebuah perenungan si batu kecil bertanya “apa didunia ini hanya ada satu buah batu kecil, dan itu aku?” pikiran ini selalu membayanginya setiap waktu. Pikiran inipun menjadi momok setiap kali dia mendapati bahwa ukurannya berbeda dengan batu-batu disekelilingnya. “hei mungil” sapa sebuah batu besar didekatnya. Si batu kecil diam saja karena penggilan “mungil” begitu menyiksa batinnya. “sudahkah kamu mendapat teman yang menanggapi keberadaanmu dengan ukuranmu yang tidak wajar?” lanjut si batu besar. Si batu kecil hanya terdiam dan tidak bergeming, kemudian dia berkata pelan “bedebah”. Kata “bedebah” itu tampaknya didengar oleh batu-batu besar disekelilingnya, mereka naik pitam dan ini adalah kali pertama si batu kecil melontarkan kata menantang. Setelah itu, habis si batu kecil di ejek habis sampai air matanya mengendap, bukan karena ingin menangis tapi menahan marah.



Batu-batu besar belum berhenti menyombongkan diri soal ukuran dan kekuatan. Bahkan beberapa kalimat diucapkan berulang-ulang setiap 10 atau 11 kalimat. Mungkin untuk mempertegas atau membuat si batu kecil makin merasa pilu dan terpahat dalam hati dan pikirnnya soal ukuran dan kekuatan. Tapi tidak, saat itu si batu kecil tidak berpikir soal ukuran dan kekuatan, dia hanya berpikir soal teman. Dia pikir, teman apapun itu, adalah yang paling dibutuhkannya saat itu. Tidak harus batu, apapun, siapapun yang mau berteman dengannya adalah sesuatu yang selalu dia tunggu.



Tiba-tiba terdengar suara anak-anak yang sedang bersenda gurau setelah itu batu-batu besar bergeming dan berhenti mengejek batu kecil. Si batu kecil memasang telinga dan berkosentrasi penuh untuk mendengarkan suara anak-anak yang sepertinya sedang berjalan ketempat dimana dia berada. Mendengar suara anak-anak itu tiba-tiba dia girang karena berpikir bakal dapat teman. Endapan air matanya hilang, dan dia begitu bersemangat. Sebuah energi positif pertama yang dia keluarkan siang itu. Si batu kecil masih berusaha menerka jarak anak-anak itu lewat suara yang di dengar. “sebentar lagi” bisiknya “sebentar lagi mereka akan sampai disini dan aku punya teman” katanya kegirangan. Mendengar itu batu-batu besar hanya diam dan kemudian mulai tertawa bersama dan berkata “taruhan, mereka tidak memilihmu”.



Tiga anak kecil berjalan ringan kearah tepian sungai, tempat dimana batu kecil berada. Mereka berjalan sambil tertawa dan bersenda gurau. Wajah-wajah seperti malaikat kecil dengan pancingan di tangan. “ah, mereka pemancing” si batu kecil berkata pada dirinya sendiri. Empat meter, tiga meter, dua meter, dan sekarang tiga anak kecil itu berdiri tepat dimana batu kecil berada. Para pemancing cilik itu tampaknya sedang memandang sekeliling dan mencari wilayah yang potensial untuk mendapatkan ikan. Melihat pemancing cilik tepat didekatnya si batu kecil mulai berteriak-teriak untuk memangil mereka, dia berkata “hei kalian pemancing cilik, maukah jadi temanku. Hei, jadilah temanku nanti akan ku tunjukan tempat dimana ikan-ikan berkumpul” iya berteriak sambil setengah melompat. Melihat perilaku si batu kecil seluruh batu besar tertawa terbahak-bahak dan mereka mengatakan bahwa percuma si batu kecil berteriak-teriak karena pemancing-pemancing cilik itu tidak akan mendengar, dan kalaupun mendengar belum tentu mau menanggapi batu kecil itu. Namun si batu kecil tidak kenal kata menyerah. Dia terus berusaha, karena di pikir ini kesempatan langka dan harus dimanfaatkan. Batu-batu besar masih tertawa terbahak, suara mereka menenggelamkan teriakan batu kecil yang memanggil-manggil ketiga pemancing cilik.



Terkejut, si batu kecil terkejut karena ketiga anak kecil itu berjalan perlahan menjauhinya. Mereka mendekati berkumpulnya batu-batu besar. Kemudian pemancing cilik itu meletakan alat pancing dan bekal makan siang mereka disebuah batu kemudian dua dari mereka menyenyakan diri dengan duduk di batu besar sambil menyiapkan alat pancing mereka. “lihatlah mungil, mereka pilih kami, si besar” kata seorang batu besar. Wajah si batu kecil merah padam sambil menahan geram. Dia nyaris putus asa, dan mendapati bahwa memang dirinya tidak layak mendapatkan teman dalam bentuk apapun.



Genggaman erat melekat dalam tubuh si batu kecil. Tubunya terangkat ke udara. Sambil menangis dia mendapati dirinya berada dalam genggaman salah satu dari pemancing cilik itu. Senang, bahagia, tertawa, itulah perasaan yang dirasakan oleh sibatu kecil. “Yiiiipppiiieeee” dia berteriak penuh rasa girang “aku dapat teman” katanya. Dia ia pun berteriak-teriak kearah baru besar dan berkata “hei kalian batu besar dungu, lihatlah aku menang taruhan. Dia, pemancing cilik ini, meraihku, meletakkanku pada genggamannya. Aku dijadikan temannya” si batu kecil meneriakkan kalimat ini berulang-ulang dengan penuh percaya diri.



Pemancing cilik menggenggam batu cilik sambil duduk disebuah batu besar sementara batu kecil menyenyakan diri dalam hangatnya genggaman pemancing cilik. Kemudian batu kecil merasakan tubuhnya melayang keudara lalu mendarat di telapak tangan pemancing cilik. Lagi, tubuhnya kembali melayang dan mendarat. Si batu kecil berpikir bahwa sepertinya pemancing cilik sedang bermain-main dengannya. Pada kali ke tujuh dia melayang dan mendarat kembali di telapak tangan pemancing cilik itu dia tidak merasakan tubuhnya melayang lagi. Tampaknya pemancing cilik sudah tidak mau bermain melayang dan mendarat lagi dan si batu kecil kembali menyenyakan diri di hangatnya telapak tangan pemancing cilik sambil memandangi wajah malaikatnya. Ada kejanggalan dalam wajah malaikatnya. Wajahnya begitu serius, matanya memandangi si batu kecil dan kemudian memandang ke arah sungai. Kemudian pemancing cilik berdiri dan memasang posisi. “ah ada apa ini” pikir si batu kecil dan perasaannya tidak enak.



Si batu kecil merasakan tubuhnya melayang sekali lagi, ini kali kedelapan dia melayang. Tapi, dia tak jua merasakan tubuhnya mendarat dan justru dia melihat bahwa dia terbang menjauhi pemancing cilik itu. Tidak, bukan terbang tapi dilempar. Si batu kecil baru saja sadar bahwa pemancing cilik itu melemparnya kearah sungai. ‘pluk’..’pluk’..’pluk’.. si batu kecil merasakan tubuhnya memantul-mantul dia permukaan air sungai. Pada pantulan keempat dia merasakan dirinya tenggelam. Dia tenggelam ke dalam sungai yang dingin. Awalnya dia masih dapat melihat cahaya matahari yang menerobos permukaan sungai, namun lama kelamaan dia mendapati sekelilingnya makin gelap dan makin gelap. Dia tenggelam dalam kegelapan sekali lagi. Saat itu sendiri adalah momok yang menguasai pikirannya dan sepersekian detik si batu kecil merasakan rindu pada ejekkan batu-batu besar.



Si batu kecil merasakan tubuhnya mendarat di permukaan keras yang kemudian dia sadari dia sudah berada di dasar sungai yang gelap. Si batu kecil menangis, kali ini bukan karena menahan marah tapi pilu dan menuntut keadilan dari Sang Pencipta. “pendatang baru, pendatang baru, dia baru jatuh tadi” si batu kecil mendengar bisikan-bisikan disekelingnya. Bisikan-bisikan riuh diikuti bunyi benturan benda keras yang berdesakkan. Bisikan itu makin riuh terdengar dan si batu kecil mencoba memandang sekeliling. Dalam kegelapan permukaan sungai dia masih bisa melihat dengan agak samar sekelilingnya dan ahaiii. Belasan, bukan puluhan batu kecil mengelilinginya sambil memandangnya dengan senyum merekah ramah. Pikirannya berputar cepat dan menemukan alasan mengapa hanya dia satu-satunya batu kecil di tepi sungai dan dia yakin pasti batu-batu kecil yang mengelilinginya pernah merasakan bagaimana rasanya terbang, bukan tapi terlempar.



Dengan bisik kecil, si batu kecil berkata pelan “bedebah, aku punya teman”

ASAL MULA: Satu Ditambah Satu menjadi Satu

Puluhan tahun lalu, disuatu hutan di pulau antah berantah hidup sekelompok petani pohon. Pohon-pohon yang mereka tebang bukanlah pohon liar yang tumbuh di hutan lalu seenaknya dia tebang. Tapi petani pohon selalu menanam pohon sepanjang waktu sampai akhirnya pohon yang dia tanam tumbuh besar dan siap ditebang. Untuk memanen pohon yang ditanam tidaklah butuh waktu yang sebentar tapi cukup lama, untuk itu petani pohon hidup berkelompok.



Hari ini adalah hari dimana pohon-pohon yang ditanam petani pohon siap dipanen. Semua sibuk menebang pohon yang dianggap sudah layak untuk ditebang. Tidak banyak yang mereka tebang karena takut merusak keseimbangan alam. Setiap panen, mereka hanya memotong tidak pernah lebih dari lima pohon. Pohon-pohon yang sudah mereka tebang tidak lantas di jual, akan tetapi mereka olah menjadi berbagai macam hal yang berguna dalam kehidupan mereka. Sebagian mereka jual untuk biaya hidup.

Seorang petani pohon sedang mengolah sebuah batang pohon yang sudah dipotong dalam ukuran yang tidak besar. Dia pandangi potongan pohon itu, memandang bentuknya dari berbagai sisi. Dia berpikir akan dibuat apa batang pohon ini. Dalam kebingungannya dia segera mengambil gergaji, pahat dan peralatan lainnya. Kemudian dia mulai memotong, memahat, mengampelas potongan batang pohon itu tanpa berpikir apapun, tanpa satu buah ide pun mengenai apa yang hendak ia buat dengan potongan batang pohon tersebut.



Hari sudah hampir malam, si petani pohon tersebut masih sibuk bermain dengan gergaji dan alat pahat, mencoba mencari bentuk yang sesuai namun nihil. Dia berhenti tepat matahari mulai terbenam dan mulai memandangi kembali potongan batang pohon yang dia cabuli sepanjang hari tadi. Dahinya berkerut, sambil tertawa dia mulai merapikan perkakasnya dan membersihkan diri untuk istirahat karena esok dia harus bekerja kembali.



Sebelum tidur, petani pohon itu berpikir keras, mencoba mengingat bentuk terakhir dari potongan batang pohonnya. Dia tertawa dan dahinya berkerut karena sampai dengan saat ini dia belum menemukan ide apapun mengenai benda apa yang dapat dia buat dari potongan batang pohon tadi. Padahal, petani pohon ini termasuk yang paling handal dan kaya ide di antara petani pohon yang lain. Dia sudah membuat benda dengan nilai jual yang tinggi, pembeli pun tidak pernah dibuat kecewa olehnya. Namun, kali ini si petani pohon seakan tidak bisa berpikir apapun, imajinasinya seakan mungkret dan tak mau bergerak. Dia hanya berpikir soal menggergaji, memahat, memotong, dan memaksimalkan semua perkakas yang dia miliki.



Hari berganti, petani pohon sudah siap dengan pahat dan palu di tangan. Tanpa pikir dia segera saja mengerjakan apa yang kemarin belum selesai dia kerjakan, yaitu membuat benda bernilai dan bermanfaat dari potongan batang pohon yang baru saja dipanen kemarin pagi. Lima jam berlalu dan petani pohon terhenti dan mulai memandang potongan batang pohon yang sudah berubah bentuk. Pikirannya makin ruwet karena sudah hampir habis batang pohon dia gergaji, potong dan pahat namun belum ada bentuk yang bisa dia terima dengan akal sehatnya. Jantungnya mulai berdegup kencang, sedikit kesal dan marah lalu memahat dengan emosi meledak. Diketuk palunya dengan keras, sampai terkadang pahatannya terlalu dalam dari yang dia inginkan. Dia terus memotong dan memahat. Tujuh jam berlalu, dia masih memahat dalam emosi tinggi, jantungnya berpacu dengan kecepatan tangannya memahat. Terkadang gergaji dia gunakan namun dia enggan gunakan golok saat itu. Delapan jam, dan matahari hampir terbenam dia masih memahat, menggergaji dan memotong sampai lupa makan dan minum. Pikirannya kacau, tak ada satupun ide yang melintas dan yang ada dipikirannya hanya pahat dan potong.



Pukul enam sore dan matahari nyaris terbenam. Petani pahat berhenti memotong dan memahat. Dia sedang mengamplas sekarang. Potongan batang pohon yang cukup besar sekarang sudah tidak ada dan habis. Potongan batang pohon tersebut saat ini hanya menjadi sebuah benda sdengan panjang lima belas senti dan diameter tak sampai setengah senti. Dia pandangi benda itu dengan penuh rasa kecewa dan dirinya benar-benar dikuasai amarah. Putus asa rasanya saat itu, potongan batang pohon yang seharusnya dapat dirubah menjadi benda yang bernilai dan berguna, kini hanya menjadi benda biasa yang nyaris tidak bermanfaat dalam kehidupannya. Meskipun dia sangat kecewa namun alih-alih benda tersebut tidak dia buang tapi dia simpan di laci meja kamarnya.



Di hari berikutnya, si petani pohon sudah menyiapkan potongan batang pohon berikutnya untuk dia oleh menjadi bentuk yang berguna. Tanpa pikir panjang dia langsung mengambil alat perkakasnya dan mulai bekerja. Dia memotong, menggergaji, dan memahat potongan batang pohon tersebut, lagi-lagi tanpa satupun ide yang terlintas dipikirannya. Berjam-jam sudah dia memotong, menggergaji, dan memahat sampai akhirnya tiba pukul enam dimana matahari nyaris terbenam. Si petani pohon sedang mengamplas potongan batang pohon yang sudah dihabisi dan saat ini sudah berubah menjadi benda dengan panjang lim belas senti dan diameter tidak lebih dari setengah senti. Dahinya mengkerut dan jantungnya kembali berdegup kencang. Kemudian dia berlari tanpa membereskan perkakasnya, tanpa membersihkan tubuhnya yang masih dipenuhi ampas kayu dan getah pohon.



Si petani pohon sampai dirumahnya dan segera menuju kamarnya dan membuka lacinya. Diambilnya sebuah benda yang dia buat kemarin, kemudian dia berkata “sama, persis”. Si petani pohon terus memandangi dua benda dengan panjang lima belas senti meter dan diameter tak lebih dari setengah senti tersebut sambil berjalan ke meja makan dimana istri dan dua orang anaknya sudah menunggu dengan lapar.



“Ayah, itu benda apa?” salah seorang anak laki-lakinya bertanya. Kemudian si petani pohon menjawab “entah, ayah juga tidak tahu”. Kemudian si anak lelaki meminta benda tersebut dari ayahnya. Si anak lelaki berpikir pasti benda tersebut dapat dijadikannya mainan atau semacamnya. Lalu diberikannya dua batang benda tersebut kepada anak lelakinya sambil mencuci tangannya sebelum mereka menyantap makan malam yang sudah disiapkan istrinya.



Petani pohon terkejut melihat apa yang diperbuat oleh anaknya dengan dua batang benda dengan ukuran lima belas senti dan diameter tidak lebih dari setengah senti tersebut. Dia, anak lelakinya sedang menjepit potongan daging dengan benda yang tadi dia berikan lalu mulai menyantap dagingnya . Dengan terheran-heran lalu dia berkata “berguna, itu berguna. Satu takkan berfungsi tapi dua berbeda. Satu ditambah satu jadi kesatuan, sempurna”.

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...