Friday, December 25, 2009

Lho Kok, Ditarik di Dalam Pak?

Dalam studi kebijakan publik, kebijakan publik secara singkat dimaknai sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan berdasarkan undang-undang melalui peraturan-peraturan yan berfungsi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada di masyarakat. Pajak atau retribusi merupakan salah satu jenis kebijakan publik yang mempunyai fungsi sebagai salah satu sumber devisa negara. Sumber devisa yang terakumulasi ini nantinya akan diolah oleh pemerintah untuk biaya pembangunan di berbagai bidang kehidupan masyarakat.

Berkaitan dengan pajak atau retribusi, diterminal bus terdapat salah satu jenis retribusi berupa peron yang harus dibayarkan oleh masyarakat yang datang kesebuah terminal bus. Peron ini biasanya ditarik saat seorang pengunjung terminal hendak memasuki kawasan dalam terminal. Besaran peron bervariasi tergantung dengan kebijakan tiap pemerintah daerah karena hasil pendapatan peron akan diolah dalam APBD.

Berhubungan dengan peron, saya punya cerita yang -bagi saya- sangat menggelikan. Cerita ini merupakan sebuah kejadian nyata yang terjadi pada tanggal 18 Desember 2009 di terminal Bekasi. Waktu itu saya hendak pulang kekampung halaman saya di Purwokerto guna menonton sebuah pementasan teater (yang akhirnya tidak berhasil saya tonton). Keberangkatan saya ke Purwokerto waktu itu menggunakan sebuah bus milik salah satu perusahaan swasta yang berasal dari salah satu kota di wilayah Jawa Tengah. Setelah membeli tiket dan menunggu selama empat jam, akhirnya bus yang saya tumpangi berangkat. Waktu itu sekitar pukul lima sore, bus mulai berjalan pelan menuju pintu keluar terminal. Belum sempat keluar terminal, tiba-tiba seorang petugas DLLAJ dengan seragam lengkap naik ke bus yang saya tumpangi. Saya terkejut, ketika petugas itu meminta uang sebesar seribu rupiah kepada penumpang yang ada dalam bus itu dengan dalih uang peron. Dalam hati saya bertanya “maksudnya apa ini?” Saya heran, karena sepanjang yang saya tahu, bahwa peron dikenakan pada pengunjung terminal ketika hendak masuk ke terminal. Cara penarikan peron saat penumpang didalam Bus tanpa memberikan karcis peron tersebut mengundang cukup banyak pertanyaan. Di kota yang cukup besar seperti Bekasi, seharusnya mekanisme yang dipakai tidak “urakan” seperti itu. Saya justru menganggap cara seperti itu seperti pengemis yang masuk kedalam bus dan meminta sedekah, namun bedanya ini ‘berseragam’.

Ketika itu, saya melihat setiap penumpang mengikuti kemauan petugas dengan membayarkan uang sebesar seribu rupiah kepada petugas tersebut. Ketika petugas itu menghampiri tempat duduk saya, saya bertanya padanya sambil memberikan uang sebesar seribu rupiah “lho kok bayar peron di dalam bus pak? Emang peraturannya gimana sih?” dengan agak cemberut dan melotot si petugas diam saja dan mengembalikan uang saya setengahnya atau sebesar lima ratus rupiah. Dengan demikian ada perlakuan yang berbeda antara saya dengan penumpang lainnya. Saya hanya membayar lima ratus rupiah sedangkan penumpang lain membayar seribu rupiah. Perbedaan perlakuan ini apakah karena saya berlagak kritis dengan bertanya atau seperti apa saya juga tidak paham sampai dengan sekarang. Namun, saya rasa bukan dititik itu permasalahannya. Hal yang ganjil menurut saya adalah, jika memang ada kebijakan untuk menarik uang peron kepada setiap pengunjung penumpang bahkan ketika sudah berada dalam bus yang sedang berangkat mengapa tidak dipukul rata semua sebesar seribu rupiah dan diberikan karcis peron? Ini seakan-akan menjadi suatu hal yang tidak jelas dasar peraturannya. Bahkan, ini bisa saja dianggap sebagai pungutan liar yang dilakukan justru oleh petugas DLLAJ diterminal Bekasi. Berbeda dengan mekanisme yang ada di kampong halaman saya di Purwokerto. Di Purwokerto, peron ditarik kepada pengunjung yang hendak masuk terminal. Biasanya, pengunjung yang hendak bepergian atau sudah memiliki tiket bus tidak ditarik peron lagi. Dengan kata lain, hanya pengantar saja yang ditarik biaya peron.

Jika melihat perbandingan yang ada di terminal Purwokerto dan terminal Bekasi akan ditemukan perbedaan mekanisme yang sangat kontras sekali. Mungkin bagi beberapa orang persoalan ini dianggap sepele. Namun, jika kita mengacu pada tuntutan untuk menciptakan good governance yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, mekanisme penarikan peron di terminal Bekasi tentunya sangat jauh dari situ. Ini karena dengan ditariknya peron di dalam bus, ketika bus hendak keluar terminal, tentunya membuat penumpang bus tidak nyaman. Selain itu, kejadian ini juga berpotensi untuk menimbulkan preseden buruk terhadap petugas DLLAJ di terminal Bekasi. Salah satu preseden buruk yang mungkin akan muncul adalah adanya indikasi pungutan liar yang mengarah pada korupsi di tingkatan petugas DLLAJ di terminal Bekasi. Ini juga menguatkan anggapan bahwa budaya korupsi semacam itu memang sudah menjadi akar yang sulit dicerabut, bahkan di birokrasi-birokrasi yang bergerak di akar rumput.

Jika saja ini dianggap sebagai pungutan liar maka yang harus dikaji adalah, pertama, mengenai sistem, peraturan, ataupun undang-undang yang mengatur peron sebagai salah satu jenis retribusi. Kedua, mengenai perilaku minor yang dilakukan oleh petugas-petugas DLLAJ dilapangan. Jika kedua hal ini dikaji dan dibenahi, bukan tidak mungkin kejadian seperti yang saya ceritakan tidak perlu terjadi (lagi).

Thursday, December 10, 2009

Si Kecil Itu Menggerutu Kasar

7 Desember 2009 saya hendak bepergian kerumah seorang kawan disalah satu bagian kota Bekasi. Saya berangkat dari rumah tepat jam tiga sore setelah huja reda dan menyisakan genangan air dibeberapa cekungan jalan. 15 menit lamanya saya menanti angkutan kota 12B yang akan mengarahkan saya menuju rumah seorang kawan. Belum satu kilo berjalan, angkutan kota berhenti di salah satu rumah sakit swasta untuk menurunkan beberapa penumpang. Setelah penumpang turun, angkutan kota menjadi agak sepi, hanya ada 4 penumpang saja termasuk saya, tiba-tiba dua orang pengamen jalanan masuk kedalam angkutan lkota yang saya naiki. Saya perhatikan dengan seksama, usia du pengamen itu masih sangat muda. Kira-kira masih berusia 11-13 tahun. Salut sekaligus miris perasaan saya saat itu. Mereka seharusnya tidak disini dan mengamen, mereka seharusnya dirumah, istirahat setelah pulang sekolah. Namun kenyataan berkata lain, realita hidup tak seindah yang dibayangkan.

Mereka berdua memulai pertunjukan mereka, dengan alat musik berupa kentrung yang lusuh dan tidak jelas bentuk dan suaranya serta sebuah kendang dari pipa mereka mainkan dengan seenaknya. Mereka bernyanyi dua buah lagu milik ST 12. Beberapa penumpang terlihat tidak nyaman dengan permainan musik mereka. Saya diam dan tetap mendengarkan. Belum selesai lagu kedua dinyanyikan, mereka menodongkan plastik bekas wadah permen, tanda meminta bayaran atas pertunjukan mereka. Malangnya, saya tidak punya kecil yang bisa saya berikan pada mereka. Untuk membayar ongkos angkutan kota saja saya harus memakai uang bernilai besar. Tidak hanya saya, penumpang lain juga tidak ada yang mengisi kantong plastik bekas bungkus permen yang disodorkan si kecil pemain kendang dari pipa itu.

Karena tidak ada yang memberi uang pada mereka, si kecil pemain kentrung tampak agak kesal, wajahnya tampak memerah dan mulai menggerutu. dia berbicara beberapa kalimat dengan nada-nada kasar dan menyindir kami penumpang angkutan kota yang tidak memberikan uang sebagai tanda apresiasi dari pertunjukan mereka. Semua penumpang diam saja, termasuk saya. Angkutan kota berhenti disebuah perempatan karena traffic light sedang berwarna merah. Dua pengamen cilik itu turun sambil menggerutu, kali ini dengan suara yang lebih lantang dan lebih kasar. Begini katanya " wooooiiiii.. orang-orang jaman sekarang pada pelit, gila, pada kagak belajar agama apa, gw sumpahin rezekinya seret"

Pada dasarnya, saya cukup tertampar dengan kata-kata yang diucapkan itu. Disatu sisi saya tersinggung, disatu sisi saya juga iba. Saya merasa dalam posisi yang seharusnya tidak divonis seperti itu, dan mungkin juga penumpang yang lain. Dalam sisa perjalanan saya terus memikirkan kejadian yang baru saja saya alami. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah "sekeras itukah sosok yang diciptakan dari kehidupan di jalanan?" Mungkin saya tidak heran jika kalimat makian itu muncul dari seorang yang lebih tua. Tapi vonis itu muncul dari anak usia 10-13 tahun. sampai dengan hari ini saya selalu kehabisan kata-kata jika terbayang kejadian itu. Mungkin bari beberapa orang itu sebagai hal yang remeh temeh, tapi bagi saya yang mengalaminya tidak demikian. Bisa jadi itu menggambarkan mentalitas banyak dari sosok yang dibentuk dari kehidupan jalanan, tapi semoga ini salah.

Friday, December 4, 2009

Naik Busway itu menyenangkan

Sudah hampir satu bulan saya menetap di Bekasi. Waktu-waktu yang saya miliki selama di Bekasi saya habiskan untuk mencari pekerjaan. Dengan bermodal ijasah dan gelar sarjana ilmu politik dengan IPK 3,22 saya kirim lamaran dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Kemudian, berbagai macam test masuk kerja pun saya ikuti, dari mulai test berupa psikotes sampai dengan wawancara. Bahkan, dalam satu hari saya bisa mengikuti test di dua perusahaan yang berbeda. Ini saya lakukan demi mewujudkan mimpi saya, yaitu ‘menaklukkan Jakarta’. Tampak agak heroik memang kata-kata yang saya gunakan, namun paling tidak ini menjadi semacam motivator bagi saya untuk tetap berusaha dan berusaha.

Di Bekasi, saya adalah pendatang. Saya tinggal dirumah saudara atau diistilahkan dengan ‘menumpang’. Karena menumpang, banyak konsekuensi-konsekuensi yang harus saya terima dan dijalankan selama proses mencari pekerjaan. Salah satu konsekuensinya adalah saya tidak memiliki fasilitas kendaraan pribadi yang dapat saya gunakan untuk bepergian. Alhasil, saya hampir selalu bepergian menggunakan kendaraan umum yang disediakan pemerintah, contohnya adalah busway.

Di Indonesia sendiri, fasilitas busway belum lama disediakan oleh pemerintah Jakarta. Sebagai kendaraan umum a la alat transportasi dinegara-negara seperti China atau Jepang, busway diharapkan dapat mengurangi tingkat kemacetan di Jakarta. Namun, apa lacur, egoisme individu masyarakat kota untuk menaiki kendaraan pribadi ternyata belum mampu dikalahkan oleh kemunculan busway sebagai alat transportasi publik. Alhasil, busway lagi-lagi hanya menjadi alat transportasi masyarakat kelas menengah kebawah dalam strata sosial masyarakat kota.

Bagi saya sendiri, busway merupakan alat transportasi yang luar biasa. Hanya dengan Rp.3500 untuk sebuah tiket busway saya bisa berkeliling kota Jakarta asal tidak keluar dari shelter busway. Hal ini kemudian benar-benar saya manfaatkan secara maksimal. Disetiap kesempatan, saya selalu memilih untuk naik busway ketika saya bepergian, khususnya ketika ada panggilan test atau wawancara dari suatu perusahaan. Disamping lebih murah, busway juga (cenderung) dapat membuat saya terhindar dari kemacetan, sehingga saya dapat lebih cepat sampai ke tempat tujuan.

Berbicara soal macet, saya ingat saat masih kuliah dulu, ada seorang teman yang mengatakan bahwa, kemacetan di kota besar seperti Jakarta adalah akibat dari karakter masyarakat kota yang individualis dan mengedepankan prestige. Apakah itu benar? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Jika ditelaah lebih dalam, permasalahan macet lebih tepat jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah. Pemerintah punya andil yang cukup besar dalam hal kemacetan dan juga tidak maksimalnya fasilitas umum seperti busway yang diharap dapat mengurangi kemacetan. Jika saja, pajak bea dan cukai kendaraan impor dinaikkan, pajak kepemilikan kendaraan pribadi dinaikkan, jumlah produksi kendaraan ditekan, atau sistem kredit kendaraan di revisi mungkin bisa saja tingkat kemacetan di Jakarta atau kota besar lainnya dapat ditekan. Hanya saja pemerintah (mungkin) belum berani untuk mengeluarkan kebijakan seperti demikian. Padahal, kebijakan yang tadi saya sebutkan, bukan untuk ‘mematikan’ industri otomotif di Indonesia, namun untuk mengantisipasi dampak negatif dari ganasnya industri otomotif di Indonesia, contoh yang paling jelas adalah macet

Di lain sisi, saya menemukan kenikmatan-kenikmatan tersendiri saat saya menaiki busway. Misalnya, saya merasa seakan-akan saya berada di Jepang ketika menaiki busway. Agak berlebihan memang, tapi ini memang benar saya rasakan. Ketika saya melihat begitu banyak orang-orang yang hendak berangkat kerja, berdesak-desakkan dalam busway, saya merasakan suasana yang berbeda (paling tidak saya melihat suasana seperti itu di film dengan setting tempat di Jepang). Selain itu, menaiki busway memberi pelajaran berharga bagi saya dalam hal berinteraksi dengan dunia sosial. Ini mungkin tidak bisa kita temukan ketika kita menaiki kendaraan pribadi. Dengan kata lain, setiap hari kita (kemungkinan) hanya bertemu teman-teman kantor atau orang-orang yang terbatas dalam lingkungan tertentu. Akan tetapi, ketika kita naik busway, kita punya kesempatan lebih untuk bertemu -atau kalau kita beruntung- berkenalan dengan orang baru yang belum kita kenal sebelumnya. Bepergian dengan busway atau dengan kendaraan umum lainnya, memberi kita ruang agar tidak terasing dalam fasilitas pribadi yang kita miliki, disamping dapat mengurangi kemacetan kota karena dominasi kendaraan-kendaraan pribadi yang begitu banyak. Misalnya, seperti yang saya alami ketika menaiki busway dari Manggarai menuju Kampung Melayu. Saat saya sedang diam menunggu busway saya bekenalan dengan seorang laki-laki yang bekerja di sebuah perusahaan swasta. Dalam perkenalan itu kami banyak berbisara soal peluang kerja di Jakarta dan juga tips-tips dalam mencari kerja. Keuntungan lebih yang saya dapat ketimbang sekedar berkenalan dan berbincang ringan adalah kami bertukar nomor ponsel dan juga dia memberi beberapa informasi mengenai lowongan pekerjaan. Luar biasa, ini adalah contoh keuntungan yang dapat ditemukan dalam lingkungan sosial. Coba bayangkan, jika dalam sebuah kesempatan saya bertemu dengan orang lain yang secara ajaib bisa memberi saya peluang kerja yang begitu besar. Selain itu, fenomena ini tidak bisa kita temukan dalam situs jejaring sosial seperti facebook. Melalui facebook, kita tidak bisa berinteraksi dengan teman secara langsung (face to face). Salah satu kenikmatan dari berkomunikasi adalah ketika kita juga bisa menatap dan memperhatikan gesture lawan bicara kita. Apalagi jika dilakukan sambil minum kopi atau berjalan-jalan ke suatu tempat.

Tuesday, November 24, 2009

Tragedi XXI

Pipi kita merona merah dalam kegelapan
Kita saling tersenyum janggal
Sambil malu kita tak ambil pusing
Tak berpikir panjang akan konsekuensi
Terserah nanti kau akan menamparku
Atau aku akan menertawaimu

Kita menikmati ciuman itu
Seperti apel yang ranum
Manis dan basah
Begitu terasa saat ku gigit bibir mungilmu
Dan kemudian kau pun membalasnya

Kita nikmati itu beberapa menit
Tiga kali kita mengulangnya
Dalam gelap
Kita mengacuhkan Toby dan teman-temannya
Demi keegoisan kita
Demi dunia yang ingin kita ciptakan bersama
Demi aku
Demi dirimu
Demi kita
Demi masa

14 November 2009

Episode Kemaluan

Rasa malu itu tak tertahan ketika keraguan menyelimuti diri
Aku tak sanggup berkata apa-apa
Mulut terkunci rapat
Jantung berdegup kencang
Niat hancur di persimpangan
Bukan karena aku pecundang

Rasa malu itu kian mengamuk
Menghancurkan rasa percaya diri
Dan berkuasa penuh atas diriku
Aku tak kuasa mengelak
Membiarkan diri terperosok dalam pertanyaan-pertanyaan menjebak

Ini bukan penyesalan
Juga bukan kesialan
Ini adalah peringatan
Bahwa batas harus dijelaskan
Peraturan harus ditegaskan
Biar jelas mana hitam mana putih
Biar tak runtuh
Biar abadi
Biar tidak menguap atas tindakan bodoh
Biar kita saling menelanjangi
Pada suatu ketika



24 Oktober 2009

Episode Tasikmalaya

Dan kemudian jarak menjadi tipis
Lalu dalam waktu yang egois aku mengais kenangan
Dalam rona yang nyaris terbuang
Dingin kemudian menghilang
Terbuang sayang
Terlempar kelangit-langit
Menguap dalam kata-kata yang merasuk ketelinga
Lalu ke ternggorokan
Menyebar lewat pembuluh darah
Dingin terlupakan
Aku terbuai dalam birahi dan geliat nafsu
Seperti Caesar mendamba Cleopatra
Aku tak ingin merajuk
Aku terbuai kata-kata
Petanda kita selalu belajar dan bercermin
Untuk masa depan



Tasikmalaya 28 Oktober 2009

Ayo Berbahasa Indonesia

Ini adalah bulan kelima semenjak saya lulus dari perguruan tinggi. Sudah lima bulan ini pula saya masih belum dapat pekerjaan atau masih berstatus pengangguran. Puluhan surat lamaran sudah saya layangkan ke berbagai perusahaan, baik perusahaan domestik ataupun perusahaan asing. Satu demi satu panggilan wawancara serta test saya ikuti namun sampai dengan tulisan ini saya buat, saya tak urung mendapat pekerjaan.

Dalam berbagai proses wawancara dan test yang saya ikuti ada pengalaman menarik yang saya dapat. Pengalaman ini saya dapat ketika saya mengikuti test wawancara disebuah perusahaan asing di wilayah Mega Kuningan Jakarta. Di wilayah usaha diplomatik tersebut saya tidak merasa seperti di Indonesia. Hal ini mungkin banyak ekspatriat dari berbagai negara seperti India, China, Jepang, Amerika, Inggris, Perancis, dan juga Amerika yang lalu lalang diwilayah tersebut. Banyaknya ekspatriat yang bekerja di wilayah tersebut menjadikan wilayah Mega Kuningan menjadi wilayah dimana bahasa Inggris menjadi bahasa yang diprioritaskan.

Dalam wawancara yang saya jalani di salah satu perusahaan asing diwilayah Mega Kuningan tersebut saya diharuskan menjawab pertanyaan sekaligus berbicara menggunakan bahasa Inggris. Agak terbata-bata memang, tapi saya bisa melalui itu semua dengan agak memuaskan. Keluar dari ruangan wawancara, saya bertanya-tanya dalam diri. Pertanyaan yang muncul adalah “ini Indonesia, ngapain sih pada ngomong pake bahasa Inggris, kenapa ga bule-bule itu yang ngomong pake bahasa Indonesia?” Agak lucu memang pertanyaan itu, tapi memang itu yang selalu menjadi pertanyaan dalam diri saya. Pada hari sebelumnya, ketika saya juga mengikuti test wawancara di salah satu provider telekomunikasi saya juga dituntut harus berbicara dalam bahasa Inggris, padahal yang mewawancarai saya adalah orang Indonesia.

Pertanyaan yang lebih besar dari letupan kecil dalam diri saya tadi adalah berkaitan dengan gelombang globalisasi yang cenderung membunuh identitas nasional negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Arogansi negara maju ternyata sudah masuk sampai wilayah bahasa. Jika dikontekskan dengan perusahaan dimana saya mengikuti test di kawasan Mega Kuningan, jumlah ekspatriat yang ada disitu hanya 40% dari jumlah pekerja pribumi, namun tetap saja yang 60% harus mengalah karena mereka tidak punya kekuasaan.

Melihat fenomena seperti itu, pikiran nakal saya berkata ”kenapa pemerintah ga ngeluarin kebijakan yang bunyinya: semua WNA yang bekerja di Indonesia WAJIB menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari?” kebijakan tersebut bukan untuk merendahkan kemampuan masyarakat Indonesia, namun sebaliknya untuk meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata WNA. Dengan kata lain, ingin menunjukkan bahwa untuk bekerja atau membuat usaha di Indonesia juga harus menghormati orang-orang Indonesia yang kebetulan tidak bisa atau tidak lancar berbahasa Inggris. Hahahahahahaaaa…

Saturday, October 17, 2009

Kepada Bunga 4

Aku ingin berhenti berpuisi
Karena kau lelah dan akupun payah
Aku ingin berhenti berpuisi
Karena hari ini hati sanggup dibantah
Biarlah ini menjadi kisah usang yang terlupakan saat temaram fajar
Biarlah ini menjadi mimpi indah yang terlupakan saat bangun esok pagi
Maaf, kalau aku tak sanggup berterima kasih
Dan kisah ini berakhir sebelum lewat tengah malam
Sebelum mata menjadi perih
Sebelum kantuk menjadi dewa
Sebelum tangis menjadi asa
Kita berpisah dalam kata-kata tanpa pandang mata
Tanpa genggaman tangan
Tanpa pelukan
Tragis tapi mesra
semoga


16 Oktober 2009

Kepada Bunga 3

Ini kali pertama aku lelah mendengar suaramu
Mungkin karena hati kalut dan pikiran takut
Cukup!
Diiringi alunan musik ‘individual life’ rasanya ingin bunuh diri saja
Atau mati tersedak busa-busa duka yang merangsak kedalam paru-paru

Ini kali pertama aku benar-benar ingin sendiri menikmati pagi
Tanpa lagu
Tanpa kau disisiku
Berdiri diantara kaki-kaki yang lunglai
Atau sekedar menikmati teh manis hangat tanpa gula

Pahit
Aku iri karena semut tak mati meski jatuh dari tebing yang tinggi
Aku cemburu karena telingga tak sanggup mengelak
Aku malu karena rasa tak bisa bohong

Lalu apa kata dirimu nanti?
Melihatku begitu lemah
Menopang mata pun aku tak sanggup
Dan kelopak ini membengkak
Bukan karena hujan turun tadi malam
Tapi karena aku ingin selalu memandangmu
Dari sudut kecil kekerdilanku

13 Oktober 2009

Saturday, October 3, 2009

Kepada Bunga 2

Hari ini adalah hari yang tidak akan terlupakan
Hari dimana kepercayaan dipertaruhkan demi sejengkal nafas yang dihirup dalam waktu yang egois. Hari dimana kebahagiaan bergumul dengan cemas dan rasa bersalah.
Tapi ini adalah sikap berontak dari ketidaknyaman. Aku merindumu, Bunga.

30 September 2009

Kepada Bunga 1

malam begitu dingin.
aku tak kuasa menahan hantaman kata yang merasuk dalam tiap pembuluh darahku.
seluruh logikaku terkulai dalam absurditas rasa yang semakin gamang.
insomnia menyerang, wangi bunga seakan menggodaku untuk bangkit dan berpetualang dalam negeri dimana nafas menjadi satu.
dimana hitam menjadi putih.
dimana aku menjadi kau


7 Agustus 2009

Tanpa Judul 3

Di dalam bus kota aku melihat cahaya lampu yang begitu mempesona.
Kuda-kuda besi melaju tanpa lelah menuju berbagai arah.
Semua tampak kaku dan aku membisu menanti pesan yang belum berbalas.
Ditemani nyanyi si kecil dengan gitar tuanya, lalu aku beri ia limaratus rupiah.
Dan kondektur menyadarkanku dari penantian.

Diatas Patas 9B, 28 September 2009

Tanpa Judul 2

Aku duduk diantara desak-desakkan manusia pekerja.
Dikananku sang tua tertidur dan kulihat perempuan mencuri baca dari tetangganya.
Aku tersenyum malu ketika bertemu pandang dengan dia didepanku.
Lucu, memegang ponsel sambil tersenyum sendiri, manis sekali.
Bolehkah aku sekedar memahami namamu?

Diatas KRL Ibukota, 28 September 2009

Tanpa Judul 1

Aku lewati sepertiga malam tanpa rasa kantuk
Pikiranku menerawang sampai Italia
Membayangkan rumput-rumput hijau ditengah kota Milan
Dengan Caesar dan juga megahnya Vatikan
Tak sekalipun aku beranjak
Berbulan madu bersama Magdalena
Sebuah imaji luar biasa yang berlangsung tiap malam tanpa henti.

24 September 2009

Sunday, July 12, 2009

Rasa Percaya diri: Masalah Minimnya Tawaran Baru Dalam Pementasan Teater di Purwokerto

Belakangan ini proses penciptaan karya berupa pementasan teater di Purwokerto mengalami penurunan kualitas yang begitu jauh dari tahun-tahun belakangan. Penurunan ini mulai akut memasuki tahun 2009. Banyak pementasan teater di Purwokerto yang tampaknya tidak lagi memperhatikan kualitasnya. Kebanyakan hanya sekedar mengeluarkan karya dengan itensitas yang cukup sering, namun dalam penggarapannya tidak begitu maksimal sehingga banyak celah-celah yang tidak ter-eksplore secara maksimal.

Satu hal yang mungkin bisa disombongkan dan di ancungi jempol adalah semangat untuk berkarya dari beberapa komunitas. Ini terlepas dari motivasi berkaryanya. Paling tidak ini menjaga nafas teater di Purwokerto agar tetap hidup. Dengan tetap bernafasnya teater kampus di Purwokerto diharapkan dapat menjaga dinamisasi dan eksistensi teater di Purwokerto.

Kembali ke masalah kualitas pementasan. Harus diakui memang, semangat untuk berkarya terasa kurang lengkap tanpa di imbangi dengan kualitas yang sepadan. Hal ini menimbulkan asumsi: “jangan-jangan teman-teman hanya beronani, begitu pentas, puas, selesai sudah.” Ekstase-ekstase semacam inilah yang harus diwaspadai bagi semua insan teater Purwokerto. Sebab, jika memang benar demikian adanya, maka teater di Purwokerto tinggal menunggu waktu saja untuk ber-harakiri dalam waktu yang bersamaan.

Jika meruntut beberapa dan menganalisa beberapa pementasan pada tahun 2009 ini, dapat dilihat beberapa hal yang menjadi faktor penurunan kualitas pementasan teater di Purwokerto. Faktor yang paling utama dan itu cukup membuat resah adalah kurangnya rasa percaya diri dari insan teater untuk menunjukkan idenya secara maksimal. Kurangnya rasa percaya diri ini bisa muncul karena beberapa sebab. Pertama adalah, insan teater kurang menguasai wacana dan skill keteateran sehingga tidak yakin dengan ide yang ingin dikeluarkan. Ini bisa jadi sebuah aksioma yang terjadi. Dalam beberapa diskusi pasca pementasan ini begitu terlihat. Insan teater begitu rapuh dalam hal wacana dan skill keteateran sehingga seringkali terjebak dalam hal-hal teknis yang agak kurang substansial jika terlalu di perdebatkan. Kedua adalah, kecenderungan intervensi yang berlebihan dari generasi tua terhadap ruang belajar generasi muda. Generasi tua dalam sebuah komunitas maupun dari luar komunitas seharusya bisa lebih menyadari peran dan posisinya. Keberadaan generasi tua di depan generasi muda terkadang memunculkan mental ciut dari generasi muda untuk mengeksplore secara maksimal ide dan gagasannya. Mental ciut inilah yang akhirnya menurunkan rasa percaya diri untuk berani memunculkan ide orisinilnya. Ini bisa makin parah jika muncul penokohan terhadap suatu figur dalam komunitas. Adanya penokohan yang kemudian menjadi acuan dalam berkarya berpotensi terhadap mandulnya ide-ide baru yang lebih segar. Karena pementasan teater yang menarik adalah pementasan yang mampu memberi ide, wacana, dan konsep yang baru kepada audience.

Konsep penciptaan karya dengan menggunakan konsep teater sutradara dimana semua konsep berujung pada sutradara dengan ide orisinilnya bisa jadi salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini. Namun lagi-lagi, ini terbentur dengan keberanian untuk mendobrak budaya kolektivitas yang seakan-akan sudah menjadi langgam baku dalam proses penciptaan karya teater di Purwokerto.

Semua memang menjadi sebuah pilihan yang haru dijalani. Satu hal yang pasti adalah jangan sampai teater di Purwokerto akan ber-harakiri secara massal. Jika sudah begini, mau apa kita?

Tuesday, July 7, 2009

Mari Mengkritik

“Seni tanpa kritik bagaikan sebuah mayat hidup.
Seni tidak akan berkembang jika sekelompok orang hanya bisa memuji, maka sekelompok orang tersebut hanya akan beronani dan ekstase sesaat.”



Demikianlah kalimat yang dilontarkan seorang kawan dalam sebuah obrolan ringan di sudut Taman Ismail Marzuki November silam. Kalimat itu cukup membuat bulu kuduk saya merinding. Entah karena suasan mistis yang terbangun saat itu atau memang terjadi pergulatan batin dalam diri saya.

Sepersekian detik pikiran saya berucap “di Purwokerto seperti apa?” Sepersekian detik kemudian pikiran tersebut hilang lagi. Entah karena tersapu angin malam kota Jakarta yang cukup dingin atau memang tidak ada yang cukup substansial dalam pikiran yang melintas tadi.

Lama setelah kejadian itu, pikiran itu muncul kembali dan terlintas ketika saya sedang bergumul dengan dunia teater. Saya berusaha untuk melupakan pikiran-pikiran itu, tapi hati pikiran, dan kelamin saya tak kuasa untuk menahan pikiran-pikiran itu untuk datang kembali.

Semenjak itu saya selalu mencoba untuk mencari tentang misteri dari pikiran-pikiran yang selalu melintas dalam pikiran saya. Pikiran yang sebenarnya sangat sederhana. Pikiran yang mungkin hanya remeh temeh. Pikiran yang mungkin tidak penting bagi kebanyakan orang.

Putu Wijaya dalam buku “Putu Wijaya: Sang Teroris Mental” mengatakan bahwa “kritik memberi daya rangsang pertumbuhan kesenian, ia seperti pupuk batin yang menggenjot perkembangan kesenian dari dalam sehingga potensinya bisa menyeruak dahsyat sampai ke batas-batas maksimalnya”. Kalimat itu seakan member pencerahan bagi saya untuk mengungkap misteri dari pikiran-pikiran nakal saya.

PURWOKERTO MINIM TUKANG KRITIK: itulah asumsi awal yang saya dapat sampai dengan ini. Meskipun ada dengan jujur saya mengatakan bahwa: “kritikan yang selama ini muncul, khususnya dalam forum-forum teater belum sampai pada titik esensi. Semua masih berkutat dipermukaan. Belum ada yang cukup berani untuk masuk sampai ketitik yang memang bisa membangkitkan semangat proses penciptaan karya yang berbeda, dahsyat, membuat bulu kuduk merinding.”

Saya sangat berharap bahwa asumsi saya salah. Untuk itu saya coba menelaah lagi, sebenarnya apa yang menjadi dasar saya mengeluarkan asumsi saya. Ada beberapa hal ternyata. Pertama, mungkin kawan-kawan belum terlalu berani karena merasa belum memiliki wawasan yang cukup. Merasa belum memilki landasan dan kemampuan yang cukup. Kedua, mungkin karena kedekatan emosional kawan-lawan teater Purwokerto yang sangat erat, sehingga ada rasa teduh pekewuh dalam diri kawan-kawan teater Purwokerto. Ketiga, mungkin karena ada GAP diantara kawan-kawan teater Purwokerto yang membuat kawan-kawan ogah untuk banyak bicara lalu memilih diam dan acuh. Kalaupun benar ada GAP, saya sangat sepakat jika GAP yang diciptakan berdasarkan landasan yang kuat . Misalnya GAP atas dasar ideologi atau hal lain yang lebih prinsipil. Namun jika GAP muncul karena rasa iri atau hal lain yang yang sifatnya sentimen perasaan, maka kita perlu berpikir lebih bijak dalam menanggapi hal itu.. Keempat, mungkin ini karena dominasi orang-orang tua yang kurang bijaksana untuk memberi ruang kepada yang muda untuk berkembang dan beraktualisasi secara bebas.

Demikian yang bisa saya keluarkan dari tiap rongga otak saya yang penuh dengan pikiran-pikiran nakal. Semoga dengan kritik, teater Purwokerto dapat lebih arif dan bijaksana. Semoga dengan kritik teater Purwokerto dapat banyak belajar dan memahami tiap gejala yang ada di lingkungan sosial kita dan lebih sensitif terhadap gejala yang lahir dalam proses penciptaan karya.

Itu Evaluasi atau Apresiasi?!

Karya seni pada hakekatnya adalah
suatu getaran kehidupan yang berproses kalau bersentuhan
dengan manusia penikmatnya

-Putu WIjaya-

Salam Seni untuk Keberpihakan!
Dunia pementasan teater tidak pernah lepas dari dunia sebenarnya. Beberapa orang menyebutkan bahwa teater merupakan gambaran sebuah realitas, namun beberapa orang lain mengatakan bahwa teater adalah refleksi realitas. Refleksi disini berarti sebuah proses perenungan akan sebuah realitas kemudian hasil perenungan itu ditampilkan dalam bentuk pementasan teater. Untuk itulah dalam pandangan teater adalah refleksi realitas, pengkarya sebuah pementasan teater bisa membolak-balik makna sebuah realitas, bola bisa kotak, persegi bisa bulat, atau misal dalam bentuk yang satire, yang bertujuan untuk memberi pandangan lain dari sebuah realitas.
Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, tampaknya keduanya menyepakati bahwa kenyataan atau realitas dalam sebuah kehidupan memegang peranan penting dalam pementasan teater. Bahkan realisme teater-pun berangkat dari sebuah kegelisahan dan kritisisme atas tata sosial aristokrasi gereja dan borjuasi bangsawan pada kisaran abad ke-16 yang menyembunyikan borok dan manipulasi, dipandang telah berkembang ke dalam tata yang mapan yang menyembunyikan borok dan manipulasi yang lain. Dalam pandangan surealis atau bahkan dalam absurditas sebuah pementasan teater-pun, realitas tetap memegang peranan sebagai landasan atas kegelisahan dalam menciptakan sebuah pementasan teater.
Saat saya menulis opini inipun saya berangkat dari kegelisahan saya atas apa yang terjadi dan saya alami. Kegelisahan yang sudah lama menjangkiti hati, pikiran, dan kelamin saya yang lama-lama tidak bisa saya pendam. Atau dengan kata lain saya tidak puas hanya dengan beronani sendiri tanpa membagi hasrat kegelisahan saya kepada teman-teman yang lain. Kegelisahan ini mulai terasa ketika saya sudah agak lama bergelut didunia teater kampus. Saya sangat menyukai dunia teater dan bagi saya, saat saya menonton sebuah pementasan teater, saya berharap akan mendapatkan pencerahan dari nilai atau pesan yang disampaikan lewat media teater. Apalagi ditambah dengan forum yang biasa digelar oleh pengkarya pementasan setelah pementasan usai, saya berharap mendapat lebih banyak lagi pencerahan dari diskusi dalam forum tersebut. Namun, apa lacur, selama empat tahun saya hidup didunia teater kampus, saya tidak pernah melihat adanya perkembangan atau minimal perubahan dalam memaknai sebuah forum pasca pementasan.
Ketika saya menjajaki dunia teater kampus, saya mengenal forum pasca pementasan sebagai forum apresiasi, namun selanjutnya dan sampai sekarang forum tersebut menjadi forum evaluasi. Satu hal yang saya heran, sebenarnya fungsi dari forum tersebut itu apa? dan peran penonton dalam sebuah pementasan teater itu seperti apa? Untuk itulah mari kita coba meredefinsi kembali pemaknaan kita atas forum pasca pementasan.
Bagi saya –mungkin turut diamini beberapa orang- saat saya hadir atau menonton sebuah pementasan teater, niat yang saya punya adalah menonton, menikmati, dan memperoleh sesuatu pencerahan atas pesan yang disampaikan. Jadi, seharusnya orang yang datang dalam sebuah pementasan teater menyadari betul dirinya adalah penonton atau dalam bahasa Putu Wijaya sebagai “manusia penikmat” dan bukan sebagai penilai. Lain ceritanya jika dalam sebuah festival atau perlombaan teater, memang ada orang yang berperan sebagi penilai. Jadi, aneh ketika seorang penonton dalam sebuah forum pasca pementasan menilai sebuah pementasan yang baru saja ditonton layaknya juri dalam festival teater yang mencatat tiap kesalahan teknis kemudian menyampaikannya dalam forum pasca pementasan (atau mungkin memang orang tersebut punya obsesi menjadi juri: who knows?!?).
Menurut saya, setiap orang punya konsep berteater sendiri serta parameter sendiri untuk melihat atau menilai sebuah pementasan teater dan kedua hal tersebut tidak bisa dipaksakan terhadap orang lain, karena orang lain juga memiliki konsep dan parameter sendiri pula. Untuk itulah penilaian hal-hal teknis dalam sebuah forum pasca pementasan agaknya kurang tepat untuk di terapkan. Hal ini karena perbedaan parameter tadi yang akan sulit sekali dipertemukan antara pandangan satu orang dengan orang lainnya. Pembicaran teknispun sebenarnya sudah rampung saat proses ditingkatan tim panggung atau pengkarya, dan saat pementasan bukan soal teknis yang menjadi inti pementasan tetapi teater sebagai salah satu media atau saluran komunikasi yang berfungsi untuk menyampaikan sesuatu pesan. Memang tidak haram, tidak salah, tidak dilarang membicarakan hal teknis, namun lebih baik dibicarakan dalam ruang lain yang lebih sesuai, karena yang terjadi selama ini adalah adanya proses justifikasi terhadap pengkarya oleh penonton. Justifikasi ini yang saya lihat sangat dogmatis, yaitu berbicara benar dan salah, indah atau tidak indah. Saya jadi kembali bertanya: memangnya kebenaran milik siapa? dan apakah pemaknaan keindahan tiap orang sama?
Berbicara soal ruang yang sesuai, saya jadi teringat akan kalimat yang dilontarkan olah kawan dari salah satu teater kampus di Purwokerto saat berdiskusi pasca pementasan “NKRI” oleh teater Wungu Fak. Psikologi UMP, kawan tersebut melontarkan kalimat yang kurang lebih berbunyi “.....saya kira teman-teman teater Purwokerto sudah bisa lebih dewasa untuk tidak membicarakan hal-hal teknis di forum ini (baca: forum pasca pementasan) dan bisa membicarakannya di forum yang berbeda..... dan mari kita membicarakan hal yang yang lebih menyangkut isi pementasan......” (maaf jika ada reduksi, tapi kurang lebih seperti itu bunyinya). Agaknya saya sepakat dengan pendapat kawan tersebut, karena bagi saya substansi atau content dari pementasan itulah yang lebih menarik untuk diperbincangkan ketimbang mengurusi masalah sorot lampu yang kurang kekiri atau gesture aktornya yang masih kaku. Karena pementasan teater, sekali lagi, membawa pesan atau nilai yang ingin disampaikan dan nilai itu akan menjadi getaran kehidupan ketika bersentuhan dengan manusia penikmat (putu wijaya). Disinilah letak peran penonton sesungguhnya, yaitu membantu merangsang getaran akan pesan atau nilai dalam sebuah pementasan teater. Pentingnya penonton dalam memberi getaran makna adalah karena pengkarya sudah tidak dibutuhkan lagi dalam memberi penjelasan terhadap penonton mengenai isi pementasan, atau dalam bahasa Roland Barthes yaitu “pengarang sudah mati”. Artinya, penonton bebas memaknai pesan atau nilai-nilai yang ada dalam pementasan tersebut dan karya pun berdiri sendiri. Untuk itulah diperlukan forum diskusi untuk membincangkan nilai, pesan atau makna yang terkandung dalam sebuah pementasan teater agar ketika pulang seorang penonton mendapatkan sesuatu yang (semoga) dapat mencerahkan dirinya. Disinilah fungsi dari forum apresiasi.
Akhirnya, mari kita kembali meredifinisi forum pasca pementasan sebagai forum apa dan seperti apa? Evaluasi? Atau apresiasi? Sebagai penonton, apakah kita punya kapasitas untuk mengevaluasi? Apakah kita seorang Putu Wijaya? W.S.Rendra? Arfrizal Malna? Richard Schechner? Kathakali? Butet Kertarajasa? Sosiawan Leak? Jerzy Grotowski? Stanislavski? Atau kita sudah merasa yakin dengan segala kemampuan berteater yang kita miliki sehingga bisa menilai pementasan orang lain dengan paremeter yang kita punya? Saya rasa, tentunya kita lebih punya hak untuk mengapresiasi ketimbang mengevaluasi.
Marilah kita merenung bersama, berteater, sekali lagi adalah proses dialektika kita dengan kehidupan, bukan dialektika kita dengan posisi lampu, volume musik atau akting seorang aktor. Posisi lampu, volume musik, gesture aktor agaknya lebih tepat untuk kita asah ketimbang kita perdebatkan. Lagipula, itu semua hanyalah pelengkap dari substansi sebenarnya yang seharusnya kita dialektikakan. Maaf jika saya lancang,... Salam Seni Untuk Keberpihakan!!!

Thursday, June 18, 2009

Mencari Ide

Menulis memang suatu hal yang tidak sulit. Ini sesuai dengan apa yang sering disampaikan oleh kawan-kawan saya. Tetapi, tidak dengan mencari ide untuk menulis. Proses pencarian ide untuk menulis ternyata tidak semudah untuk menuangkan ide tersebut dalam sebuah tulisan. sudah dua minggu ini saya ingin menulis di Blog yang baru saya buat. Namun sudah dua minggu ini juga saya tidak kunjung menemukan ide untuk menulis di Blog saya. Entah karena saya tidak punya kegelisahan tentang sesuatu yang ingin saya tulis atau memang ternyata semangat dan niat bukan hal yang cukup untuk menciptakan sebuah tulisan. huh...

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...