Thursday, December 10, 2009

Si Kecil Itu Menggerutu Kasar

7 Desember 2009 saya hendak bepergian kerumah seorang kawan disalah satu bagian kota Bekasi. Saya berangkat dari rumah tepat jam tiga sore setelah huja reda dan menyisakan genangan air dibeberapa cekungan jalan. 15 menit lamanya saya menanti angkutan kota 12B yang akan mengarahkan saya menuju rumah seorang kawan. Belum satu kilo berjalan, angkutan kota berhenti di salah satu rumah sakit swasta untuk menurunkan beberapa penumpang. Setelah penumpang turun, angkutan kota menjadi agak sepi, hanya ada 4 penumpang saja termasuk saya, tiba-tiba dua orang pengamen jalanan masuk kedalam angkutan lkota yang saya naiki. Saya perhatikan dengan seksama, usia du pengamen itu masih sangat muda. Kira-kira masih berusia 11-13 tahun. Salut sekaligus miris perasaan saya saat itu. Mereka seharusnya tidak disini dan mengamen, mereka seharusnya dirumah, istirahat setelah pulang sekolah. Namun kenyataan berkata lain, realita hidup tak seindah yang dibayangkan.

Mereka berdua memulai pertunjukan mereka, dengan alat musik berupa kentrung yang lusuh dan tidak jelas bentuk dan suaranya serta sebuah kendang dari pipa mereka mainkan dengan seenaknya. Mereka bernyanyi dua buah lagu milik ST 12. Beberapa penumpang terlihat tidak nyaman dengan permainan musik mereka. Saya diam dan tetap mendengarkan. Belum selesai lagu kedua dinyanyikan, mereka menodongkan plastik bekas wadah permen, tanda meminta bayaran atas pertunjukan mereka. Malangnya, saya tidak punya kecil yang bisa saya berikan pada mereka. Untuk membayar ongkos angkutan kota saja saya harus memakai uang bernilai besar. Tidak hanya saya, penumpang lain juga tidak ada yang mengisi kantong plastik bekas bungkus permen yang disodorkan si kecil pemain kendang dari pipa itu.

Karena tidak ada yang memberi uang pada mereka, si kecil pemain kentrung tampak agak kesal, wajahnya tampak memerah dan mulai menggerutu. dia berbicara beberapa kalimat dengan nada-nada kasar dan menyindir kami penumpang angkutan kota yang tidak memberikan uang sebagai tanda apresiasi dari pertunjukan mereka. Semua penumpang diam saja, termasuk saya. Angkutan kota berhenti disebuah perempatan karena traffic light sedang berwarna merah. Dua pengamen cilik itu turun sambil menggerutu, kali ini dengan suara yang lebih lantang dan lebih kasar. Begini katanya " wooooiiiii.. orang-orang jaman sekarang pada pelit, gila, pada kagak belajar agama apa, gw sumpahin rezekinya seret"

Pada dasarnya, saya cukup tertampar dengan kata-kata yang diucapkan itu. Disatu sisi saya tersinggung, disatu sisi saya juga iba. Saya merasa dalam posisi yang seharusnya tidak divonis seperti itu, dan mungkin juga penumpang yang lain. Dalam sisa perjalanan saya terus memikirkan kejadian yang baru saja saya alami. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah "sekeras itukah sosok yang diciptakan dari kehidupan di jalanan?" Mungkin saya tidak heran jika kalimat makian itu muncul dari seorang yang lebih tua. Tapi vonis itu muncul dari anak usia 10-13 tahun. sampai dengan hari ini saya selalu kehabisan kata-kata jika terbayang kejadian itu. Mungkin bari beberapa orang itu sebagai hal yang remeh temeh, tapi bagi saya yang mengalaminya tidak demikian. Bisa jadi itu menggambarkan mentalitas banyak dari sosok yang dibentuk dari kehidupan jalanan, tapi semoga ini salah.

No comments:

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...