Monday, October 17, 2022

Seperti Intimacy yang tak Terduga

Hey, sadarkah kau bahwa perjalanan adalah sebuah keniscayaan kehidupan?

Berpindah dari satu tempat ke tempat lain adalah siklus yang menandai pasang surut hidup.

Diatas bangku kereta, aku duduk bersama seorang perempuan disampingku, duduk diantara manusia yang terjebak dalam keniscayaan. Tidak, bukan terjebak, tapi melibatkan diri pikirku. 

Terjebak dan melibatkan diri mungkin dua hal dengan batas yang begitu tipis. Tipis bagai jarak lengan yang sungguh ingin kuhilangkan, aku bongkar dan tendang jauh-jauh. Aku tendang ke matahari, biar hangus, jadi abu. Lalu batas menjadi semakin tipis, atau mungkin hilang.

Hari ini, aku merasa sangat lelah, petugas kereta lalu lalang sejak tadi, mencoba menjajakkan makanan agar kami merasa nyaman dan kenyang. Petugas kereta melintas lagi dan aku masih malas, disebelahku perempuan ini duduk kedinginan, tangannya dia himpitkan ke sela kaki, ah lucu sekali, tawaku dalam hati.

Sebenarnya bukan hanya ia yang merasa dingin, jari jemariku juga terasa kaku, aku coba usap kedua telapak tanganku agar hangat, namun sia-sia karena udara malam begitu perkasa. Makin lama perempuan ini makin gusar karena ada hasrat yang tak tertahan. Huh, aku minta dia ke belakang untuk melepaskan gelisahnya, dan berhasil.

Menit demi menit berlalu, kami hampir sampai stasiun tujuan, kami mendengarkan musik untuk membunuh bosan. Bersama spotify kami berkeliling dunia, dari Korea, Amerika, Swedia, Polandia, Perancis, sampai Rusia. Kami dengarkan berbagai macam lagu yang banyak kami tidak pahami maknanya. Tapi bukan itu intinya, ada pola intimacy yang terbentuk tanpa sengaja dan kadang membuat aku sulit menahan diri, sesaat tanpa sadar aku melampaui batas, batas antara lengan yang tipis. Ah, semoga dia tidak menyadarinya.

Perjalanan, sampai pada akhirnya, disertai rasa lapar kami berjalan. Nyaris terjebak dalam hingar bingar dunia malam, beruntung kami tersadar dan terdampar di restaurant cepat saji. Tanpa pikir panjang kami memesan karena cacing-cacing diperut sudah meronta dan memprotest dengan keras. Makanan datang dan kami bergegas pulang, berjalan menyusuri trotoar mengejar taxi yang kemudian mencampakkan kami dalam jarak 3 meter. Damn! ini menyenangkan, karena akan jadi memory yang sulit terlupa, meski malam berganti pagi.

Menit berlalu, dan kami sudah menyenyakkan diri didalam taxi, menikmati cheese burger dan kentang goreng, sesekali kami lontarkan candaan yang kadang getir tapi syahdu. Sesekali pula aku merasa lepas kendali dengan pola intimacy ini dan sekali aku berharap dia tak sadar.

Kilometer menunjukkan kami hampir sampai, tidak, bukan kami, tadi dia, si perempuan. Aku hendak mengantarkannya ke peraduan, namun selintas aku tak ingin perjalanan ini berakhir. Sungguh aku tak mau berakhir, lagi-lagi i wanna hold her hand and say, please don't go! ah tidak bisa, perjalanan ini terbatas, waktu terbatas, jarak lengan kita terbatas, semua ini ada keterbatasan dan aku tak bisa memaksakan batas-batas itu meski dorongan hati begitu dahsyat.

Sekian, dia pergi dan aku melanjutkan perjalanan, sempat tersasar namun menjadi keniscayaan bahwa kita selalu menemukan jalan yang tepat untuk sampai ke tujuan.


Argo Muria, 14 Oktober 2022


(Tanpa di sadari, kisah ini adalah kisah tak terduga namun digariskan nasib untuk melanjutkan "Catatan Puncak 3 Agustus 2019")

 

 

 

No comments:

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...