Tuesday, November 24, 2009

Tragedi XXI

Pipi kita merona merah dalam kegelapan
Kita saling tersenyum janggal
Sambil malu kita tak ambil pusing
Tak berpikir panjang akan konsekuensi
Terserah nanti kau akan menamparku
Atau aku akan menertawaimu

Kita menikmati ciuman itu
Seperti apel yang ranum
Manis dan basah
Begitu terasa saat ku gigit bibir mungilmu
Dan kemudian kau pun membalasnya

Kita nikmati itu beberapa menit
Tiga kali kita mengulangnya
Dalam gelap
Kita mengacuhkan Toby dan teman-temannya
Demi keegoisan kita
Demi dunia yang ingin kita ciptakan bersama
Demi aku
Demi dirimu
Demi kita
Demi masa

14 November 2009

Episode Kemaluan

Rasa malu itu tak tertahan ketika keraguan menyelimuti diri
Aku tak sanggup berkata apa-apa
Mulut terkunci rapat
Jantung berdegup kencang
Niat hancur di persimpangan
Bukan karena aku pecundang

Rasa malu itu kian mengamuk
Menghancurkan rasa percaya diri
Dan berkuasa penuh atas diriku
Aku tak kuasa mengelak
Membiarkan diri terperosok dalam pertanyaan-pertanyaan menjebak

Ini bukan penyesalan
Juga bukan kesialan
Ini adalah peringatan
Bahwa batas harus dijelaskan
Peraturan harus ditegaskan
Biar jelas mana hitam mana putih
Biar tak runtuh
Biar abadi
Biar tidak menguap atas tindakan bodoh
Biar kita saling menelanjangi
Pada suatu ketika



24 Oktober 2009

Episode Tasikmalaya

Dan kemudian jarak menjadi tipis
Lalu dalam waktu yang egois aku mengais kenangan
Dalam rona yang nyaris terbuang
Dingin kemudian menghilang
Terbuang sayang
Terlempar kelangit-langit
Menguap dalam kata-kata yang merasuk ketelinga
Lalu ke ternggorokan
Menyebar lewat pembuluh darah
Dingin terlupakan
Aku terbuai dalam birahi dan geliat nafsu
Seperti Caesar mendamba Cleopatra
Aku tak ingin merajuk
Aku terbuai kata-kata
Petanda kita selalu belajar dan bercermin
Untuk masa depan



Tasikmalaya 28 Oktober 2009

Ayo Berbahasa Indonesia

Ini adalah bulan kelima semenjak saya lulus dari perguruan tinggi. Sudah lima bulan ini pula saya masih belum dapat pekerjaan atau masih berstatus pengangguran. Puluhan surat lamaran sudah saya layangkan ke berbagai perusahaan, baik perusahaan domestik ataupun perusahaan asing. Satu demi satu panggilan wawancara serta test saya ikuti namun sampai dengan tulisan ini saya buat, saya tak urung mendapat pekerjaan.

Dalam berbagai proses wawancara dan test yang saya ikuti ada pengalaman menarik yang saya dapat. Pengalaman ini saya dapat ketika saya mengikuti test wawancara disebuah perusahaan asing di wilayah Mega Kuningan Jakarta. Di wilayah usaha diplomatik tersebut saya tidak merasa seperti di Indonesia. Hal ini mungkin banyak ekspatriat dari berbagai negara seperti India, China, Jepang, Amerika, Inggris, Perancis, dan juga Amerika yang lalu lalang diwilayah tersebut. Banyaknya ekspatriat yang bekerja di wilayah tersebut menjadikan wilayah Mega Kuningan menjadi wilayah dimana bahasa Inggris menjadi bahasa yang diprioritaskan.

Dalam wawancara yang saya jalani di salah satu perusahaan asing diwilayah Mega Kuningan tersebut saya diharuskan menjawab pertanyaan sekaligus berbicara menggunakan bahasa Inggris. Agak terbata-bata memang, tapi saya bisa melalui itu semua dengan agak memuaskan. Keluar dari ruangan wawancara, saya bertanya-tanya dalam diri. Pertanyaan yang muncul adalah “ini Indonesia, ngapain sih pada ngomong pake bahasa Inggris, kenapa ga bule-bule itu yang ngomong pake bahasa Indonesia?” Agak lucu memang pertanyaan itu, tapi memang itu yang selalu menjadi pertanyaan dalam diri saya. Pada hari sebelumnya, ketika saya juga mengikuti test wawancara di salah satu provider telekomunikasi saya juga dituntut harus berbicara dalam bahasa Inggris, padahal yang mewawancarai saya adalah orang Indonesia.

Pertanyaan yang lebih besar dari letupan kecil dalam diri saya tadi adalah berkaitan dengan gelombang globalisasi yang cenderung membunuh identitas nasional negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Arogansi negara maju ternyata sudah masuk sampai wilayah bahasa. Jika dikontekskan dengan perusahaan dimana saya mengikuti test di kawasan Mega Kuningan, jumlah ekspatriat yang ada disitu hanya 40% dari jumlah pekerja pribumi, namun tetap saja yang 60% harus mengalah karena mereka tidak punya kekuasaan.

Melihat fenomena seperti itu, pikiran nakal saya berkata ”kenapa pemerintah ga ngeluarin kebijakan yang bunyinya: semua WNA yang bekerja di Indonesia WAJIB menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari?” kebijakan tersebut bukan untuk merendahkan kemampuan masyarakat Indonesia, namun sebaliknya untuk meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata WNA. Dengan kata lain, ingin menunjukkan bahwa untuk bekerja atau membuat usaha di Indonesia juga harus menghormati orang-orang Indonesia yang kebetulan tidak bisa atau tidak lancar berbahasa Inggris. Hahahahahahaaaa…

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...