Tuesday, November 8, 2022

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu?
Rindu, iya rindu.
R I N D U 

Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah hanya aku yang berpikir demikian? Mungkin ya, atau mungkin tidak. 50:50? Atau mungkin tidak berimbang. Arrgh, sungguh kata dengan rasa yang tidak masuk akal. 
Rindu, seperti virus yang merasuk kedalam tubuh, menyumbat setiap arteri dan membuat aliran darah melambat, namun degup jantung bergerak cepat. Sungguh rasa yang tidak masuk akal. Tak bisa dihitung, diukur atau ditimbang.
Rindu, bagai desir dalam jam pasir turun perlahan yang jika ditatap sungguh menguras rasa sabar.
Rindu, terasa seperti narapidana hukuman mati yang menunggu kebebasan. Menyiksa, sungguh menyiksa. Sampai tak cukup waktu diriku mengatur ritme nafas dan udara menguap membuat sesak. Dada ini terasa sesak, seperti asma, aku tak suka.
Aku rindu kamu ?@$8@ !!!

Thursday, October 27, 2022

I Hate Weekend

Bagi beberapa orang weekend adalah hari yang paling dinanti, tapi bagiku tidak. Aku memilih Selasa, Rabu, dan Kamis sebagai hari favoritku. Betapa aku tidak menyukai weekend dalam kurun waktu belakangan, karena aku harus menanggung rindu yang bergulung dan mengendap selama Jumat sampai dengan Senin.

Lagi-lagi ini menyoal rindu, kenapa Tuhan menciptakan rindu dalam hidup? Apakah Tuhan sengaja menyiksa manusia yang terjebak dalam rindu yang tak berbalas? Rindu yang hanya bisa ditanggung sendiri. Rindu yang hanya bisa terkungkung dalam jeruji batas hukum kekekalan.

Sungguh, ini sungguh menyiksa.
Tuhan,. Please..

Tuesday, October 25, 2022

The mirror, moment, and lost

Tik Tak,
Tik Tak,
Tik Tak,
Detik jam berlarian tanpa henti, dibawah sinisme langit Jakarta. Kita berdiri dalam himpit. Himpitan para pekerja yang terdiam dalam kata. Tertunduk dalam lelah dan tenggelam dalam dunia masing-masing.

Diatas KRL ibu kota, kita nikmati senja, meski kitapun ikut tertunduk sibuk, saling diam dalam lelah, namun.

Aku berterima kasih padamu, Tuhan Semesta Alam, berterima kasih atas kebaikanmu menciptakan cermin. Cermin sebagai tempatku mencuri pandang dan mencari makna dibalik guratan dahi dan mata yang sulit untuk menunjukkan arti.

Dalam hidup, ada saja bagian yang tak kusuka. Tidak kubenci, hanya saja tak kusuka.

Arrgh, aku kehilangan sudut cermin.
Aku kehilangan waktu untuk menemukan makna dibalik guratan dahi dan mata yang sulit menunjukkan arti.

Tuhan, berikan aku waktu itu lagi...
Please...

KRL ibukota, 25 Oktober 2022

Monday, October 24, 2022

Rindu dan Hujan

Aku rindu,
Empat hari rasanya begitu lama, begitu meresahkan
Setiap centi darah di nadiku berjalan begitu lambat, jantungku berdegup begitu lembat.
Bukan karena sakit, bukan, tapi seluruh indera dan organku seakan mengikuti metronom waktu yang begitu lambat.
Begitu menyesakkan
Karena rindu
Aku rindu

Langit membantuku mengatasi rindu
Ia turunkan hujan, hujan yang sama dengan hujan yang kita nikmati bersama
Meski tidak berdua, namun setidaknya ada kau didekatku
Hujan, membantuku merasakan aroma cheesebbokki, 
Hujan, membantuku mengingat tawa dan senyum
Hujan, membantuku mengingat siapa dirimu
Hujan, membantuku mengingatkan siapa diriku dengan rinduku yang tak berbalas

Purwokerto, 23 October 2022

Wednesday, October 19, 2022

Cheesebbokki dan Sebuah Pilihan

Sudah kubilang, semesta seperti menunjukan sinisme dan kebaikan dalam waktu bersamaan. Seperti sekeping mata uang yang dilempar, kita tak bisa memprediksi bagian mana yang muncul. Huh..

Semesta sedang mengajarkanku berjudi kali ini. Menebak-nebak, sinisme atau kebaikan yang kudapat. Ah, tak nyaman rasanya. 

Hari ini berlalu dengan tidak biasa. Wajahku masam di pagi hari, suasana membuat tidak berselera. Entah kenapa, mungkin karena aku sekedar ingin menjaga hati, menjaga jarak tetap berbatas, meski begitu tipis.

Pagi berlalu begitu cepatnya, setiap detik seakan berloma marathon. Siang datang, semesta berbaik hati, secara tiba-tiba dan moodku membaik. Ya setidaknya tawa itu, senyum itu tetap membuncah dan menaklukan pahitnya segelas Americano.

Tak tahan, jam 3 sore, waktu dimana temu pandang harus dihadapi, pembicaraan tak bisa dihindari karena kita, aku mencoba professional. Lagi-lagi, ku nikmati rasa ini sendiri, namun bukan tak ingin berbagi, namun belum tentu kau ingin. Ini seperti perbedaan kita memilih makanan, aku pilih Cheesebbokki dan kau tidak. But, pilihan kita rasional paling tidak untuk saat ini, akal kita masih sehat untuk berpikir dalam batas.

Tuesday, October 18, 2022

Teka Teki

Nyala api dalam air akan menjadi sebuah hal yang muskil terjadi

Angin selalu menjadi pembeda jika kau bingung akan arah

Dinginnya malam akan mengingatkan kita soal kerinduan pada kehangatan

Indahnya Ranu Kumbolo memercikan semangat menaklukan tanjakan cinta

Aku ingin disisimu selamanya

Sudut Temu

Seperti biasanya, aku mulai hari dengan tergesa. Cuaca cukup cerah pagi ini meski aku memprediksi hujan akan turun di sore atau malam hari. Memang aku tak pandai memprediksi namun tampaknya aku akan benar kali ini. God, ini hari yang kunanti, meski segudang pekerjaan menanti di depan mata, namun pekerjaan hanya bilangan angka dan teka-teki yang akan berujung pada jawaban dan pemecahan masalah.

Huff, satu hal yang takut kuhadapi hari ini adalah, "sudut temu". Ini bukan sudut yang bisa dihitung dengan sin, cos, dan tan. Namun ini adalah sudut pertemuan antara mata dengan mata, senyum dengan senyum, dan tawa dengan tawa. Sudut yang sulit sekali diukur tinggi rendah atau panjang pendeknya. Sudut yang terlalu absurd jika dinilai dengan angka dan bilangan. Mungkin Einstein atau Pythagoras juga tak bisa memecahkan teka-teki ini.

Waktu masih berlarian dan aku pun tiba pada tujuan, tujuan fisik namun bukan kebahagian. Kuletakkan lelah ini dikursi hitam, seperti biasa, tergesa-gesa membuat energi ini terkuras. Aku tolehkan wajah ini ke samping kiri dan, Viola! "sudut temu", suatu yang kuharap, kunanti dan kuprediksi akan terjadi. Namun, kurasa aku menikmati sudut ini sendiri, yup, sendiri pada awal, proses, dan akhirnya. Tidak, aku belum ingin ini berakhir. Ijinkan aku nikmati "sudut temu" ini esok hari, esok hari lagi, dan esok hari lagi. Ijinkan aku sekedar menjadi penikmat guratan senja, atau pelangi setelah hujan reda. Please, I am begging.

Oke, Senjakala tiba, dan tibalah saat yang tak kusuka namun akan coba kunikmati tanpa sisa. Kami berjalan di atas trotoar, berhadapan dengan ganasnya lalu lintas Jakarta, kereta-kereta besi jadi lawan kami. Dalam kebimbangan, kami pilih jalur tengah sebagai pilihan paling rasional. Namun, di jalur ini sulit sekali menemukan "sudut temu", aku hanya memandang dari belakang, curi pandang lalu mengindar. Terdiam aku ditemani spotify, tanpa banyak bicara aku nikmati senja. Meski tak berdua namun patut disyukuri karena semesta mengijinkan, semesta masih mengijinkan, entah sampai kapan.

Dalam KRL ibukota, kita habiskan hari ini. Lagi-lagi, mungkin hanya aku yang menikmati. Tak apa, itu sudah cukup karena aku sadar akan batas. Batas antar lengan yang begitu tipis, batas antar kepercayaan diri yang begitu tinggi. Nah, aku benci diriku yang begini. God, please,..

Monday, October 17, 2022

The Day After Tomorrow

Tak sadarkah kau bahwa suasana sedang tak bersahabat belakangan ini. Cuaca sangat tak menentu, langit begitu sinis, saking sinisnya dia berikan panas yang begitu terik dan hujan yang begitu deras. Parahnya, panas dan hujan berubah begitu cepat, kadang tanpa memberi ruang untuk bersiap.

Tak ubahnya dengan suasana semesta, suasana dalam hatiku juga sedang tak menentu, suka dan getir datang begitu saja. Pergi dan menyapa tanpa kenal waktu. Dua hari lalu suka begitu menguasai hari, namun sekarang, rasanya cukup getir.

Aku benci diriku jika sedang begini, benci karena terlalu mudah takluk oleh suasana dan hati. Aku benci semesta, benci karena sering kali membawa suasana yang begitu ku suka. Ah, awan mulai hitam, saat ini baru pukul 14:24, tapi aku sudah tak sabar menunggu esok. Hanya esok, entah ada apa esok namun aku ingin segera esok. Hmmm, aku berpikir suasana apa yang dibuat semesta esok hari? tak sabar, namun aku curi duga. Apakah aku lihat tawa itu? senyum itu? tawa dan senyum yang kudapati dalam sebuah perjalanan. Tawa dan senyum yang dengan sadar aku salah artikan.

Hahaha, nah kan, aku bodoh, wajar benci pada diriku, terlalu percaya diri untuk menyalah artikan tawa dan senyum yang berujung pada gesture yang cukup rumit di pahami, namun lebih mudah dianggap konyol dan memalukan.

Hari ini adalah "The day After Tomorrow" dalam versi kecilku. aku cukup bahagia karena Blog ini telah kembali, aku bisa menyimpan letupan-letupan kejadian dalam hidup. Termasuk bimbangnya suasana hati saat ini. Bimbang untuk memaknai kiasan-kiasan yang melompat-lompat di pikiran tiga hari belakangan. Ah, lagi-lagi aku benci diriku yang begini.

Well, terlepas dari itu semua, aku masih tidak sabar menunggu besok. Besok bertemu dirimu dan berharap mendapai tawa dan senyum yang sama. Pada sisi lain, aku ingin menarik kata maafku kemarin, bukan tidak mau meminta maaf atas diriku yang terlalu percaya diri menyalahartikan tawa dan senyum itu. Tapi maaf ini akan kusimpan dulu, ijin kan aku menikmati suasana ini dalam beberapa lama, maafku akan kusampaikan nanti. Jika semesta menunjukkan arti soal kiasan-kiasan yang berlompatan di pikiran ku

Seperti Intimacy yang tak Terduga

Hey, sadarkah kau bahwa perjalanan adalah sebuah keniscayaan kehidupan?

Berpindah dari satu tempat ke tempat lain adalah siklus yang menandai pasang surut hidup.

Diatas bangku kereta, aku duduk bersama seorang perempuan disampingku, duduk diantara manusia yang terjebak dalam keniscayaan. Tidak, bukan terjebak, tapi melibatkan diri pikirku. 

Terjebak dan melibatkan diri mungkin dua hal dengan batas yang begitu tipis. Tipis bagai jarak lengan yang sungguh ingin kuhilangkan, aku bongkar dan tendang jauh-jauh. Aku tendang ke matahari, biar hangus, jadi abu. Lalu batas menjadi semakin tipis, atau mungkin hilang.

Hari ini, aku merasa sangat lelah, petugas kereta lalu lalang sejak tadi, mencoba menjajakkan makanan agar kami merasa nyaman dan kenyang. Petugas kereta melintas lagi dan aku masih malas, disebelahku perempuan ini duduk kedinginan, tangannya dia himpitkan ke sela kaki, ah lucu sekali, tawaku dalam hati.

Sebenarnya bukan hanya ia yang merasa dingin, jari jemariku juga terasa kaku, aku coba usap kedua telapak tanganku agar hangat, namun sia-sia karena udara malam begitu perkasa. Makin lama perempuan ini makin gusar karena ada hasrat yang tak tertahan. Huh, aku minta dia ke belakang untuk melepaskan gelisahnya, dan berhasil.

Menit demi menit berlalu, kami hampir sampai stasiun tujuan, kami mendengarkan musik untuk membunuh bosan. Bersama spotify kami berkeliling dunia, dari Korea, Amerika, Swedia, Polandia, Perancis, sampai Rusia. Kami dengarkan berbagai macam lagu yang banyak kami tidak pahami maknanya. Tapi bukan itu intinya, ada pola intimacy yang terbentuk tanpa sengaja dan kadang membuat aku sulit menahan diri, sesaat tanpa sadar aku melampaui batas, batas antara lengan yang tipis. Ah, semoga dia tidak menyadarinya.

Perjalanan, sampai pada akhirnya, disertai rasa lapar kami berjalan. Nyaris terjebak dalam hingar bingar dunia malam, beruntung kami tersadar dan terdampar di restaurant cepat saji. Tanpa pikir panjang kami memesan karena cacing-cacing diperut sudah meronta dan memprotest dengan keras. Makanan datang dan kami bergegas pulang, berjalan menyusuri trotoar mengejar taxi yang kemudian mencampakkan kami dalam jarak 3 meter. Damn! ini menyenangkan, karena akan jadi memory yang sulit terlupa, meski malam berganti pagi.

Menit berlalu, dan kami sudah menyenyakkan diri didalam taxi, menikmati cheese burger dan kentang goreng, sesekali kami lontarkan candaan yang kadang getir tapi syahdu. Sesekali pula aku merasa lepas kendali dengan pola intimacy ini dan sekali aku berharap dia tak sadar.

Kilometer menunjukkan kami hampir sampai, tidak, bukan kami, tadi dia, si perempuan. Aku hendak mengantarkannya ke peraduan, namun selintas aku tak ingin perjalanan ini berakhir. Sungguh aku tak mau berakhir, lagi-lagi i wanna hold her hand and say, please don't go! ah tidak bisa, perjalanan ini terbatas, waktu terbatas, jarak lengan kita terbatas, semua ini ada keterbatasan dan aku tak bisa memaksakan batas-batas itu meski dorongan hati begitu dahsyat.

Sekian, dia pergi dan aku melanjutkan perjalanan, sempat tersasar namun menjadi keniscayaan bahwa kita selalu menemukan jalan yang tepat untuk sampai ke tujuan.


Argo Muria, 14 Oktober 2022


(Tanpa di sadari, kisah ini adalah kisah tak terduga namun digariskan nasib untuk melanjutkan "Catatan Puncak 3 Agustus 2019")

 

 

 

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...