Saturday, August 21, 2010

Batu Kecil dan Pemancing Cilik

Suasana tepian sungai cukup lenggang siang itu. Si batu kecil sedang terdiam ditempatnya berada. Berpikir soal berbagai kemungkinan hadirnya teman dalam hidupnya. Bagaimana tidak, si batu kecil adalah satu-satunya batu dengan ukuran kecil yang hidup ditepian sebuah sungai diantara puluhan batu dengan ukuran yang jauh lebih besar darinya. Hampir setiap hari atau bahkan setiap saat si batu kecil diejek oleh batu-batu besar lainnya. Dia, si batu kecil, di ejek karena ukurannya kecil dan semua batu besar dengan angkuhnya selalu menyombong soal ukuran dan kekuatan.



Dalam sebuah perenungan si batu kecil bertanya “apa didunia ini hanya ada satu buah batu kecil, dan itu aku?” pikiran ini selalu membayanginya setiap waktu. Pikiran inipun menjadi momok setiap kali dia mendapati bahwa ukurannya berbeda dengan batu-batu disekelilingnya. “hei mungil” sapa sebuah batu besar didekatnya. Si batu kecil diam saja karena penggilan “mungil” begitu menyiksa batinnya. “sudahkah kamu mendapat teman yang menanggapi keberadaanmu dengan ukuranmu yang tidak wajar?” lanjut si batu besar. Si batu kecil hanya terdiam dan tidak bergeming, kemudian dia berkata pelan “bedebah”. Kata “bedebah” itu tampaknya didengar oleh batu-batu besar disekelilingnya, mereka naik pitam dan ini adalah kali pertama si batu kecil melontarkan kata menantang. Setelah itu, habis si batu kecil di ejek habis sampai air matanya mengendap, bukan karena ingin menangis tapi menahan marah.



Batu-batu besar belum berhenti menyombongkan diri soal ukuran dan kekuatan. Bahkan beberapa kalimat diucapkan berulang-ulang setiap 10 atau 11 kalimat. Mungkin untuk mempertegas atau membuat si batu kecil makin merasa pilu dan terpahat dalam hati dan pikirnnya soal ukuran dan kekuatan. Tapi tidak, saat itu si batu kecil tidak berpikir soal ukuran dan kekuatan, dia hanya berpikir soal teman. Dia pikir, teman apapun itu, adalah yang paling dibutuhkannya saat itu. Tidak harus batu, apapun, siapapun yang mau berteman dengannya adalah sesuatu yang selalu dia tunggu.



Tiba-tiba terdengar suara anak-anak yang sedang bersenda gurau setelah itu batu-batu besar bergeming dan berhenti mengejek batu kecil. Si batu kecil memasang telinga dan berkosentrasi penuh untuk mendengarkan suara anak-anak yang sepertinya sedang berjalan ketempat dimana dia berada. Mendengar suara anak-anak itu tiba-tiba dia girang karena berpikir bakal dapat teman. Endapan air matanya hilang, dan dia begitu bersemangat. Sebuah energi positif pertama yang dia keluarkan siang itu. Si batu kecil masih berusaha menerka jarak anak-anak itu lewat suara yang di dengar. “sebentar lagi” bisiknya “sebentar lagi mereka akan sampai disini dan aku punya teman” katanya kegirangan. Mendengar itu batu-batu besar hanya diam dan kemudian mulai tertawa bersama dan berkata “taruhan, mereka tidak memilihmu”.



Tiga anak kecil berjalan ringan kearah tepian sungai, tempat dimana batu kecil berada. Mereka berjalan sambil tertawa dan bersenda gurau. Wajah-wajah seperti malaikat kecil dengan pancingan di tangan. “ah, mereka pemancing” si batu kecil berkata pada dirinya sendiri. Empat meter, tiga meter, dua meter, dan sekarang tiga anak kecil itu berdiri tepat dimana batu kecil berada. Para pemancing cilik itu tampaknya sedang memandang sekeliling dan mencari wilayah yang potensial untuk mendapatkan ikan. Melihat pemancing cilik tepat didekatnya si batu kecil mulai berteriak-teriak untuk memangil mereka, dia berkata “hei kalian pemancing cilik, maukah jadi temanku. Hei, jadilah temanku nanti akan ku tunjukan tempat dimana ikan-ikan berkumpul” iya berteriak sambil setengah melompat. Melihat perilaku si batu kecil seluruh batu besar tertawa terbahak-bahak dan mereka mengatakan bahwa percuma si batu kecil berteriak-teriak karena pemancing-pemancing cilik itu tidak akan mendengar, dan kalaupun mendengar belum tentu mau menanggapi batu kecil itu. Namun si batu kecil tidak kenal kata menyerah. Dia terus berusaha, karena di pikir ini kesempatan langka dan harus dimanfaatkan. Batu-batu besar masih tertawa terbahak, suara mereka menenggelamkan teriakan batu kecil yang memanggil-manggil ketiga pemancing cilik.



Terkejut, si batu kecil terkejut karena ketiga anak kecil itu berjalan perlahan menjauhinya. Mereka mendekati berkumpulnya batu-batu besar. Kemudian pemancing cilik itu meletakan alat pancing dan bekal makan siang mereka disebuah batu kemudian dua dari mereka menyenyakan diri dengan duduk di batu besar sambil menyiapkan alat pancing mereka. “lihatlah mungil, mereka pilih kami, si besar” kata seorang batu besar. Wajah si batu kecil merah padam sambil menahan geram. Dia nyaris putus asa, dan mendapati bahwa memang dirinya tidak layak mendapatkan teman dalam bentuk apapun.



Genggaman erat melekat dalam tubuh si batu kecil. Tubunya terangkat ke udara. Sambil menangis dia mendapati dirinya berada dalam genggaman salah satu dari pemancing cilik itu. Senang, bahagia, tertawa, itulah perasaan yang dirasakan oleh sibatu kecil. “Yiiiipppiiieeee” dia berteriak penuh rasa girang “aku dapat teman” katanya. Dia ia pun berteriak-teriak kearah baru besar dan berkata “hei kalian batu besar dungu, lihatlah aku menang taruhan. Dia, pemancing cilik ini, meraihku, meletakkanku pada genggamannya. Aku dijadikan temannya” si batu kecil meneriakkan kalimat ini berulang-ulang dengan penuh percaya diri.



Pemancing cilik menggenggam batu cilik sambil duduk disebuah batu besar sementara batu kecil menyenyakan diri dalam hangatnya genggaman pemancing cilik. Kemudian batu kecil merasakan tubuhnya melayang keudara lalu mendarat di telapak tangan pemancing cilik. Lagi, tubuhnya kembali melayang dan mendarat. Si batu kecil berpikir bahwa sepertinya pemancing cilik sedang bermain-main dengannya. Pada kali ke tujuh dia melayang dan mendarat kembali di telapak tangan pemancing cilik itu dia tidak merasakan tubuhnya melayang lagi. Tampaknya pemancing cilik sudah tidak mau bermain melayang dan mendarat lagi dan si batu kecil kembali menyenyakan diri di hangatnya telapak tangan pemancing cilik sambil memandangi wajah malaikatnya. Ada kejanggalan dalam wajah malaikatnya. Wajahnya begitu serius, matanya memandangi si batu kecil dan kemudian memandang ke arah sungai. Kemudian pemancing cilik berdiri dan memasang posisi. “ah ada apa ini” pikir si batu kecil dan perasaannya tidak enak.



Si batu kecil merasakan tubuhnya melayang sekali lagi, ini kali kedelapan dia melayang. Tapi, dia tak jua merasakan tubuhnya mendarat dan justru dia melihat bahwa dia terbang menjauhi pemancing cilik itu. Tidak, bukan terbang tapi dilempar. Si batu kecil baru saja sadar bahwa pemancing cilik itu melemparnya kearah sungai. ‘pluk’..’pluk’..’pluk’.. si batu kecil merasakan tubuhnya memantul-mantul dia permukaan air sungai. Pada pantulan keempat dia merasakan dirinya tenggelam. Dia tenggelam ke dalam sungai yang dingin. Awalnya dia masih dapat melihat cahaya matahari yang menerobos permukaan sungai, namun lama kelamaan dia mendapati sekelilingnya makin gelap dan makin gelap. Dia tenggelam dalam kegelapan sekali lagi. Saat itu sendiri adalah momok yang menguasai pikirannya dan sepersekian detik si batu kecil merasakan rindu pada ejekkan batu-batu besar.



Si batu kecil merasakan tubuhnya mendarat di permukaan keras yang kemudian dia sadari dia sudah berada di dasar sungai yang gelap. Si batu kecil menangis, kali ini bukan karena menahan marah tapi pilu dan menuntut keadilan dari Sang Pencipta. “pendatang baru, pendatang baru, dia baru jatuh tadi” si batu kecil mendengar bisikan-bisikan disekelingnya. Bisikan-bisikan riuh diikuti bunyi benturan benda keras yang berdesakkan. Bisikan itu makin riuh terdengar dan si batu kecil mencoba memandang sekeliling. Dalam kegelapan permukaan sungai dia masih bisa melihat dengan agak samar sekelilingnya dan ahaiii. Belasan, bukan puluhan batu kecil mengelilinginya sambil memandangnya dengan senyum merekah ramah. Pikirannya berputar cepat dan menemukan alasan mengapa hanya dia satu-satunya batu kecil di tepi sungai dan dia yakin pasti batu-batu kecil yang mengelilinginya pernah merasakan bagaimana rasanya terbang, bukan tapi terlempar.



Dengan bisik kecil, si batu kecil berkata pelan “bedebah, aku punya teman”

ASAL MULA: Satu Ditambah Satu menjadi Satu

Puluhan tahun lalu, disuatu hutan di pulau antah berantah hidup sekelompok petani pohon. Pohon-pohon yang mereka tebang bukanlah pohon liar yang tumbuh di hutan lalu seenaknya dia tebang. Tapi petani pohon selalu menanam pohon sepanjang waktu sampai akhirnya pohon yang dia tanam tumbuh besar dan siap ditebang. Untuk memanen pohon yang ditanam tidaklah butuh waktu yang sebentar tapi cukup lama, untuk itu petani pohon hidup berkelompok.



Hari ini adalah hari dimana pohon-pohon yang ditanam petani pohon siap dipanen. Semua sibuk menebang pohon yang dianggap sudah layak untuk ditebang. Tidak banyak yang mereka tebang karena takut merusak keseimbangan alam. Setiap panen, mereka hanya memotong tidak pernah lebih dari lima pohon. Pohon-pohon yang sudah mereka tebang tidak lantas di jual, akan tetapi mereka olah menjadi berbagai macam hal yang berguna dalam kehidupan mereka. Sebagian mereka jual untuk biaya hidup.

Seorang petani pohon sedang mengolah sebuah batang pohon yang sudah dipotong dalam ukuran yang tidak besar. Dia pandangi potongan pohon itu, memandang bentuknya dari berbagai sisi. Dia berpikir akan dibuat apa batang pohon ini. Dalam kebingungannya dia segera mengambil gergaji, pahat dan peralatan lainnya. Kemudian dia mulai memotong, memahat, mengampelas potongan batang pohon itu tanpa berpikir apapun, tanpa satu buah ide pun mengenai apa yang hendak ia buat dengan potongan batang pohon tersebut.



Hari sudah hampir malam, si petani pohon tersebut masih sibuk bermain dengan gergaji dan alat pahat, mencoba mencari bentuk yang sesuai namun nihil. Dia berhenti tepat matahari mulai terbenam dan mulai memandangi kembali potongan batang pohon yang dia cabuli sepanjang hari tadi. Dahinya berkerut, sambil tertawa dia mulai merapikan perkakasnya dan membersihkan diri untuk istirahat karena esok dia harus bekerja kembali.



Sebelum tidur, petani pohon itu berpikir keras, mencoba mengingat bentuk terakhir dari potongan batang pohonnya. Dia tertawa dan dahinya berkerut karena sampai dengan saat ini dia belum menemukan ide apapun mengenai benda apa yang dapat dia buat dari potongan batang pohon tadi. Padahal, petani pohon ini termasuk yang paling handal dan kaya ide di antara petani pohon yang lain. Dia sudah membuat benda dengan nilai jual yang tinggi, pembeli pun tidak pernah dibuat kecewa olehnya. Namun, kali ini si petani pohon seakan tidak bisa berpikir apapun, imajinasinya seakan mungkret dan tak mau bergerak. Dia hanya berpikir soal menggergaji, memahat, memotong, dan memaksimalkan semua perkakas yang dia miliki.



Hari berganti, petani pohon sudah siap dengan pahat dan palu di tangan. Tanpa pikir dia segera saja mengerjakan apa yang kemarin belum selesai dia kerjakan, yaitu membuat benda bernilai dan bermanfaat dari potongan batang pohon yang baru saja dipanen kemarin pagi. Lima jam berlalu dan petani pohon terhenti dan mulai memandang potongan batang pohon yang sudah berubah bentuk. Pikirannya makin ruwet karena sudah hampir habis batang pohon dia gergaji, potong dan pahat namun belum ada bentuk yang bisa dia terima dengan akal sehatnya. Jantungnya mulai berdegup kencang, sedikit kesal dan marah lalu memahat dengan emosi meledak. Diketuk palunya dengan keras, sampai terkadang pahatannya terlalu dalam dari yang dia inginkan. Dia terus memotong dan memahat. Tujuh jam berlalu, dia masih memahat dalam emosi tinggi, jantungnya berpacu dengan kecepatan tangannya memahat. Terkadang gergaji dia gunakan namun dia enggan gunakan golok saat itu. Delapan jam, dan matahari hampir terbenam dia masih memahat, menggergaji dan memotong sampai lupa makan dan minum. Pikirannya kacau, tak ada satupun ide yang melintas dan yang ada dipikirannya hanya pahat dan potong.



Pukul enam sore dan matahari nyaris terbenam. Petani pahat berhenti memotong dan memahat. Dia sedang mengamplas sekarang. Potongan batang pohon yang cukup besar sekarang sudah tidak ada dan habis. Potongan batang pohon tersebut saat ini hanya menjadi sebuah benda sdengan panjang lima belas senti dan diameter tak sampai setengah senti. Dia pandangi benda itu dengan penuh rasa kecewa dan dirinya benar-benar dikuasai amarah. Putus asa rasanya saat itu, potongan batang pohon yang seharusnya dapat dirubah menjadi benda yang bernilai dan berguna, kini hanya menjadi benda biasa yang nyaris tidak bermanfaat dalam kehidupannya. Meskipun dia sangat kecewa namun alih-alih benda tersebut tidak dia buang tapi dia simpan di laci meja kamarnya.



Di hari berikutnya, si petani pohon sudah menyiapkan potongan batang pohon berikutnya untuk dia oleh menjadi bentuk yang berguna. Tanpa pikir panjang dia langsung mengambil alat perkakasnya dan mulai bekerja. Dia memotong, menggergaji, dan memahat potongan batang pohon tersebut, lagi-lagi tanpa satupun ide yang terlintas dipikirannya. Berjam-jam sudah dia memotong, menggergaji, dan memahat sampai akhirnya tiba pukul enam dimana matahari nyaris terbenam. Si petani pohon sedang mengamplas potongan batang pohon yang sudah dihabisi dan saat ini sudah berubah menjadi benda dengan panjang lim belas senti dan diameter tidak lebih dari setengah senti. Dahinya mengkerut dan jantungnya kembali berdegup kencang. Kemudian dia berlari tanpa membereskan perkakasnya, tanpa membersihkan tubuhnya yang masih dipenuhi ampas kayu dan getah pohon.



Si petani pohon sampai dirumahnya dan segera menuju kamarnya dan membuka lacinya. Diambilnya sebuah benda yang dia buat kemarin, kemudian dia berkata “sama, persis”. Si petani pohon terus memandangi dua benda dengan panjang lima belas senti meter dan diameter tak lebih dari setengah senti tersebut sambil berjalan ke meja makan dimana istri dan dua orang anaknya sudah menunggu dengan lapar.



“Ayah, itu benda apa?” salah seorang anak laki-lakinya bertanya. Kemudian si petani pohon menjawab “entah, ayah juga tidak tahu”. Kemudian si anak lelaki meminta benda tersebut dari ayahnya. Si anak lelaki berpikir pasti benda tersebut dapat dijadikannya mainan atau semacamnya. Lalu diberikannya dua batang benda tersebut kepada anak lelakinya sambil mencuci tangannya sebelum mereka menyantap makan malam yang sudah disiapkan istrinya.



Petani pohon terkejut melihat apa yang diperbuat oleh anaknya dengan dua batang benda dengan ukuran lima belas senti dan diameter tidak lebih dari setengah senti tersebut. Dia, anak lelakinya sedang menjepit potongan daging dengan benda yang tadi dia berikan lalu mulai menyantap dagingnya . Dengan terheran-heran lalu dia berkata “berguna, itu berguna. Satu takkan berfungsi tapi dua berbeda. Satu ditambah satu jadi kesatuan, sempurna”.

Tuesday, July 20, 2010

Soal “menjinakkan” dengan SWOT

SWOT, bagi mahasiswa fakultas sosial ataupun mereka yang pernah bergelut dalam dunia organisasi atau administrasi sedikit banyak pasti akrab dengan istilah ini. SWOT adalah salah satu metode analisis planning strategic yang biasa digunakan dalam organisasi atau semacamnya yang fungsinya mengevaluasi, membaca potensi, dan penciptaan strategi untuk bergerak kedepan dengan melihat dalam aspek Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats. Metode ini mulai disahkan dan diakui sebagai salah satu metode analisis organisasi pada tahun 1960an di Stanfors University oleh Albert Humphrey. (sumber:Wikipedia.com)

Membaca organisasi dengan SWOT kita akan melibatkan faktor ekternal dan internal dari organisasi itu sendiri. Faktor internal akan diwakili oleh Strength dan weakness. Strength merupakan kekuatan yang dimiliki secara internal, sifatnya dapat berupa sumber daya yang bersifat soft ataupun kelengkapan yang sifat hard yang berpotensi menjadi senjata dalam menentukan strategic planning. Weakness, juga dilihat dari sisi internal organisasi. Merupakan antitesa dari kekuatan yang seharusnya dimiliki oleh organisasi dalam menentukan strategic planning. Weakness biasanya berupa ketiadaan sumber daya yang bersifat soft dan juga hard. Faktor eksternal dalam SWOT diwkili oleh Opportunity dan juga Threat. Opportunity merupakan peluang atau kesempatan yang bergerak di luar organiasi yang ketika dapat dimanfaatkan secara maksimal akan sangat menentukan goal dari organisasi tersebut. Sedangkan threat adalah kebalikan dari opportunity. Threat sebaiknya dibaca secara detail dan mendalam bahkan sampai hal yang bersifat remeh temeh. Threat jika tidak diantisipasi sangat berpotensi menghambat proses penciptaan goal dari organisasi. Threat terkadang datang secara tak diduga, karena kondisinya memang ada proses yang bergerak dinamis di sisi luar organisasi, ini pun berlaku untuk opportunity. (dari banyak sumber)

Lazimnya, SWOT memang digunakan untuk membaca sebuah organisasi dan menciptakan rancangan strategic planning untuk mencapai target yang ditetapkan organisasi tersebut. Lalu bagaimana jika SWOT ini diterapkan untuk case yang berbeda. Misalnya dalam hal asmara. Saat saya masih kuliah, saya dan beberapa teman memiliki sebuah kebiasaan atau mungkin juga dapat disebut sebagai sebuah ritual tahunan. Ritual yang hampir selalu dilakukan ketika masuk ajaran baru. Lebih tepatnya beberapa minggu pasca OSPEK mahasiswa diadakan. Ritual ini juga terkadang dilakukan secara isidental jika memang ada hal yang perlu dipecahkan. Ritual ini kami sebut dengan istilah “PEMBACAAN”. Pembacaan, yang dari kata “baca” disni berarti mencoba untuk memahami sesuatu hal atau peristiwa yang sedang atau sudah berlangsung.
Mungkin istilah “pembacaan” akan menjadi begitu berat dipikirkan jika kita mengkait-kaitkan dengan hal yang berbau pergerakan mahasiswa dan kawanannya. Pembacaan yang kami lakukan, tidak lebih dari membaca kontelasi politik asmara yang muncul akibat datangnya mahasiswi-mahasiswi baru yang di istilahkan “fresh from the oven” atau biasa sebut “kupat” oleh beberapa teman mahasiswa di kampus saya waktu itu (mungkin sampai saat ini istilah “kupat” masih (sangat) popular) ataupun pembacaan mengenai female new comers dalam hidup kami. Pembacaan konstelasi asmara bagi kami menjadi (agak) penting untuk di lakukan untuk menjaga dinamisasi hubungan antar lelaki agar tidak saling rebutan lahan dan wilayah jajahan. Memang awalnya hanya sebagai “lucu-lucuan” dikala senggang dan melepas penat dari hingar bingar masalah tugas, kuliah dan tetek bengeknya. Tapi berawal dari ke isengan kami dalam melakukan pembacaan, kami akhirnya menemukan ide (yang saat itu kami anggap brilliant) dalam menjinakan lawan jenis. SWOT, adalah metode yang kami coba kami adopsi secara sederhana dan agak serampangan untuk mencoba mencapai tujuan kami saat itu. Dimana tujuannya tidak lebih jauh dari mendapatkan pasangan. Ini karena sebagian dari kami saat itu masih berstatus “single”.

Dalam melakukan analisis SWOT (asmara), hal yang pertama dilakukan adalah menentukan target. Taget disini apa lagi kalau bukan perempuan yang hendak kami jinakkan (penggunakan kata ‘jinakkan’ sepertinya lebih enak dibaca ketimbang ‘taklukan’). Setelah target ditemukan, masuklah kita dalam proses gathering data. Terutama data-data valid soal di target. Data-data ini banyak variannya, bahkan yang tidak oleh orang lain pun dapat menjadi begitu penting bagi kami. Merujuk metode SWOT Data-data soal target nantinya akan kami pilah kedalam dua hal, yaitu data yang bersifat opportunity dan data yang bersifat threat. Dalam pengumpulan data si target tentunya kita butuh informan yang sangat dipercaya dalam validitas infomasi yang diperlukan. Ambil saja teman dekat target, atatupun teman yang kurang dekat untuk dapat lebih variaan data.
Setelah data target dirasa cukup, mulailah proses pembacaan dimulai. Pertama dengan membaca strength yang dimiliki si pemburu target. Saya beri contoh soal pembacaan yang pernah kami lakukan pada seorang teman, sebut saja namanya Masmon. Ini data strengths yang dimiliki:

-Lucu
-Mudah bergaul
-Perhatian
-Aktif dalam kegiatan kampus
-Bisa menahan emosi
-Jago main futsal dan bulu tangkis
-Penyabar

Kedua, pembacaan soal weaknesses yang dimiliki si pemburu, masih contoh kasus Masmon. Berikut datanya:

-Kualitas wajah biasa saja. Tinggi tapi kerempeng.
-Kere, sering kekurangan uang, dan hobi menghutang
-Tidak punya kendaraan pribadi untuk menunjang mobilitas mereka dalam menjalin hubungan
-Peminum (jika tidak dapat dikatakan pemabuk)
-Tidak menonjol dalam hal akademis
-Jarang mandi
-Jarang rapih,
-Sering lebay sehingga tak dapat memposisikan diri di hadapan pujaan hati
-Kurang pede, dan masih banyak lagi

Setelah pembacaan faktor internal dari poemburu selesai dilakukan. Sekarang giliran membaca data dari si target. Seperti yang dikatakan diawal, data dari target akan dimasukan dalam wilayah eksternal, yaitu opportunity dan juga threat. Masih dalam kasus Masmon dalam usaha menjinakan targetnya, kami membaca beberapa hal, yaitu:

Opportunities:
-Punya banyak teman yang bisa membantu
-Diuntungkan karena aktif di kegiatan yang sama
-Target masih jomblo
-Target juga senang olah raga yang sama dengan pemburu

Treats:
-Zaman yang makin modern yang sulit diimbangi si pemburu
-Jurang ekonomi yang cukup jauh
-Banyak saingan
-Jarak tempuh ketempat target yang jauh kalo jalan kaki

Dari pembacaan soal strength, weakness, opportunity, dan juga threat tersebut kita akan masuk dalam tahap berikutnya, yaitu analisa. Analisa sama seperti lazimnya analisis SWOT yang sesungguhnya, yaitu dengan membenturkan hasil pembacaan-pembacaan tadi menggunakan metode saling silang, atau jika digambarkan seperti ini:







Dari gambar diatas pasti terbayang bagaimana cara kami memperlakukan data yang kami peroleh saat itu. Disini saya tidak akan menjelaskan apapun soal hasil analisanya. Ini karena bersifat rahasia dan tidak baik jika dipublikasikan. Tapi jika pembaca ingin analisa sendiri silahkan, gunakan intepretasi berdasarkan contoh data yang ada pada paragraf sebelumnya.
Tahap terakhir dari analisa ini adalah penentuan strategi. Jadi, setelah proses analisa dengan cara membenturkan faktor internal dan eksternal sudah dilakukan sesuai skema, selanjutnya akan muncul kesimpulan-kesimpulan dari pembacaan kita. kesimpulan ini biasanya beragam dan tidak hanya satu. Lalu dari kesimpulan-kesimpulan yang didapat, kita akan berpikir lagi untuk menentukan strategi apa yang cocok untuk dilakukan. Sesudah strategi dirumuskan, lantas apa lagi jika bukan di laksanakan. Ingat, dalam pelaksanaan strategi pemburu tetap harus siap berimprovisasi atas hal-hal yang tak terduga atau lepas dari pembacaan awal. Sehingga, dalam prosesnya, pemburu tetap harus di dampingi oleh rekan-rekan sejawat, terutama yang membantu proses “pembacaan”. Jika strategi tepat dan improvisasi atas hal tak terduga dilakukan dengan tepat, maka, atas ijin Tuhan, target akan jinak dan goal tercapai.
Demikianlah, salah satu pembelajaran yang saya dapat dimasa senggang kuliah bersama teman-teman saya. Satu hal yang perlu diingat, ritual yang saya lakukan hanya sekedar iseng tapi ternyata agak bermanfaat, terutama bagi saya pribadi, dan semoga demikian juga teman-teman saya yang dengan iseng bersama-sama merumuskan cara alternatif dan (mungkin) dianggap ilmiah dalam meraih pasangan dalam konteks hubungan asmara. Tulisan ini pun saya buat untuk sekedar iseng karena tiba-tiba saya rindu dengan masa kuliah, dan ritual “pembacaan” ini menjadi salah satu yang saya rindukan dari kerinduan saya untuk mendengarkan dosen mengajar dan memberi setumpuk tugas dan juga tidak lupa UJIAN. Buena suerte. Salam.

Thursday, May 20, 2010

Siapa bilang jadi seorang pegawai contact center itu mudah?

Dahulu, saya sendiri beranggapan bahwa pekerjaan sebagai pegawai call center merupakan pekerjaan ecek-ecek yang bisa dilakukan oleh siapapun. Tinggal menggangkat telepon, bicara, menutup telepon, dan selesai. Namun tampaknya anggapan saya itu keliru, setelah hampir tiga bulan lamanya saya bergelut dengan pekerjaan seperti ini, saya pada akhirnya memiliki pemahaman yang berbeda pada pemahaman saya sebelumnya. Pekerjaan yang terlihat mudah ini ternyata jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum terjun dalam pekerjaan ini. Dari sekian banyak hal yang harus dipersiapkan, satu hal utama yang menjadi modal utama adalah kesiapan mental. Meskipun harus diakui pada lapangan pekerjaan apa saja hal yang satu ini juga menjadi hal yang krusial.

Mengapa mental? Seorang customer service officer (CSO) yang berposisi di back office atau yang biasa disebut divisi call center, merupakan sebuah barisan “pion” yang ditempatkan oleh perusahaan di barisan paling depan yang menangani seluruh keluhan, kebutuhan informasi, ataupun saran dari seluruh customer dalam lingkup nasional. Sehingga mau tidak mau seorang CSO harus mampu belajar mengenal berbagai karakter customer agar dapat memberi pelayanan yang memuaskan. Misalnya, saya yang bekerja dia call center sebuah bank swasta nasional akhirnya dapat memahami karakter customer dari latar belakang daerahnya. Jadi, ketika menerima calls dari customer hal pertama saya lihat adalah kode area telepon. Dengan melihat kode area tersebut saya tinggal mempersiapkan cara apa yang paling tepat untuk menghadapi nasabah tersebut. Perbedaan karakter nasabah dari tiap daerah ini bisanya menjadi salah satu hal yang membuat mental menjadi sangat penting. Bukan bermaksud rasialis, primordial atau apapun itu. Tapi sepertinya, dari kacamata antropologi atau sosiologi pun menyepakati bahwa karakter setiap orang salah satunya akan terbentuk dari lingkungan atau daerah yang ditempati. Namun, bukan titik ini yang menjadi inti permasalahan akan tetapi pada titik seorang CSO harus siap mental menghadapi segala situasi dan kondisi. Misalnya, saat saya dibilang “GOBLOK… ANJING!!!” saat menjalani prosedur dan tidak menuruti keninginan nasabah, atau saat saya dibilang “tidak sopan” saat berkata “tidak bisa pak, ini sudah jadi ketentuan”, atau saat teman saya diteriaki “FUCK YOU INDONESIA” oleh seorang ekspatriat, atau hal simple, ketika pertanyaan atau keluhan nasabah terlalu sulit dan seorang CSO dituntut sebisa mungkin menutup permasalahan saat itu juga.

Ketidaksiapan mental seperti ini, tak urung membuat banyak teman saya yang tidak tahan dan akhirnya memilih untuk resign. Bahkan, dua CSO yang kebetulan satu tim dengan saya pernah menangis setelah menerima calls dari nasabah. Tidak hanya itu saja, belakangan ada seorang CSO baru yang langsung resign setelah satu hari bertugas. Padahal, untuk menjadi CSO di bank dimana saya saat ini bekerja membutuhkan proses panjang dan tidak mudah. Selain mental, penguasaan product knowledge juga menjadi hal yang sangat penting. Namun perbedannya adalah, product knowledge bisa diasah seiring berjalannya waktu atau biasa dikenal dengan proses learning by doing. Terlepas dari itu, keduanya merupakan senjata terpenting bagi CSO dalam menghadapai nasabah, apalagi nasabah yang senang sekali mengkait-kaitkan ketidakpuasan dengan media.

ANCAM MEDIA, merupakan senjata andalan nasabah jika keinginannya yang terkadang nyeleneh dan muskil tidak bisa dituruti, atau ketika seorang CSO tidak bisa menangani keluhan nasabah dengan baik. Di titik ini, lagi-lagi bukan nama perusahaan yang dibawa akan tetapi yang sudah-sudah nama CSO juga ikut terbawa. Menghadapi nasabah dengan typical pengancam seperti ini seorang mental CSO juga menjadi senjata paling ampuh. Apalagi jika menghadapi nasabah yang memang suka mencari masalah dan berharap mendapatkan respek lebih dari perusahan. Seperti saat salah seorang rekan saya “bertempur” dengan seorang nasabah dan diakhir pembicaraan nasabah berkata “iya mas, saya memang suka cari-cari masalah sama kalian”. Nah, pekerjaan iseng seperti ini sering sekali menjadikan seorang CSO alih-alih korban pelampiasan kekesalan nasabah. Sehingga, habislah seorang CSO yang tidak bisa menangani nasabah semacam ini.

Seperti yang kita tahu, bahwa media saat ini menjadi pembentuk opini publik yang paling ganas dan berpengaruh dan inilah yang paling dihindari oleh perusahan-perusahan besar serta dihindari oleh CSO manapun. Pada titik ini, kita bisa mengamini bahwa barisan pion CSO secara tidak langsung menjadi penyanggah sekaligus garda pelindung nama baik perusahaan. Ketika nasabah puas dengan pelayanan CSO maka nama perusahaan akan terangkat dan sebaliknya, ketika pelayanan CSO tidak bisa membuat nasabah puas, maka nama perusahaan juga akan terpengaruh. Peran penting inilah yang menjadikan Call Center menjadi bisnis yang besar dan sigifikan. Bayangkan saja, hampir tiap bulan diperusahaan saya bekerja paling tidak ada 20 atau lebih CSO baru yang masuk. Tuntutan dari ribuan nasabah yang menghubungi nomor call center menjadikan kebutuhan CSO call center tidak pernah putus-putus. Income yang ditawarkan juga cukup menjanjikan, apalagi untuk lapisan fresh graduated. Income perbulannya bisa melebihi mereka yang bekerja dibidang yang sifatnya administratif.

Meskipun demikian, saya pribadi tidak menjaminkan diri bahwa pekerjaan sebagai CSO sangat prospektif untuk kedepannya. Sebagai pengalaman dan sekedar referensi kerja mungkin bisa, namun untuk perkerjaan permanen yang prospektif saya belum menemukan jaminannya.

Saturday, January 16, 2010

Merindu Kota Satria

Aku mati dalam rindu yang membara
Rindu hangatnya kota Satria
Dengan mendoan dan sega bandem disudut pasar wage selepas senja
Aku rindu
Mati aku dalam rindu

Ditemani Bob Marley
Aku membuka album demi album kenangan lama yang sempat menguap
Mengendus sedapnya anggur merah
Membuai kehangatan malam kampus perjuangan
Bersama Angga, Diaz , dan Henrik
Kami berdiskusi sepanjang malam
Dari soal politik, musik dan kelamin
Bahkan terkadang kami menyentil Tuhan sambil telanjang
Mati aku dalam rindu
Mati aku dibalik kelambu

Bob Marley masih bernyanyi
Jika lelah terkadang diselingi penyanyi lokal
Namun tetap reggae seperti Lodse
Mati aku dalam rindu
Ingin berdansa tanpa lantai marmer, tuxedo dan dasi kupu-kupu
Tenggelam aku dalam rindu
Mengingat Yahya bergoyang fana
Dengan rambut yang membawa petaka
Bukan untuk dirinya
Namun makhluk disekitarnya
Ampun
Aku meminta ampun
Aku tak ingin mati dalam rindu
Aku ingin rindu hidup dalam diriku


Griya Peninsula, 14 Januari 2010

Untuk Persahabatan Singkat

Dalam senja pikiranku berputar
Membentuk rangkaian rune-rune kuno tanpa makna yang jelas
Aku menjadi jalang
Bagai pelacur yang menjajakan tubuhnya
Merangkai kata tanpa makna
Menggapai makna tanpa kata

Dalam senja aku terbakar
Meleleh dalam relief-relief jalur layang
Melintasi kepala-kepala yang mengais rupiah
Tanpa rasa kasihan

Terdiam kau disana
Karena aku hujam kata-kata

Matilah kau disana
Terbenam durja atas pisau yang kau ciptakan

Disini aku hanya tertawa dalam hati
Melihatmu bagai badut tolol yang merasa pintar

Ha! Aku katakan padamu dalam hati
Silahkan mengejar matahari
Karena aku hanya akan terdiam
Menatapmu
Dan menertawakanmu
Selalu
Tiap saat
Atas kebodohanmu
Mengaburkan namaku


Dibawah flyover, 11 Januari 2009

Untuk Sebuah Alasan

Untuk sebuah alasan aku coba lari dari mimpi
Untuk sebuah alasan aku menantang matahari dan pagi
Untuk sebuah alasan rasa kantuk jadi riak kecil yang aku acuhkan
Untuk sebuah alasan minyak bercampur dengan segelas air

Untuk sebuah alasan aku terbangun dalam pagi
Mencoba menghadap Tuhan yang sering kali tak kusadari kehadirannya
Untuk sebuah alasan aku menatapmu dari balik jendela kamarku
Berharap kau juga membalas tatapanku meski dalam sekejap mata

Sudah begitu lama aku terasing dirumah ini
Hanya menjalani siklus dengan grafik yang datar
Aku bosan, berharap mendapatkan rangsangan
Untuk sekedar menyapa atau disapa

Bertanya aku
Dalam minimnya kata-kata yang terbelenggu beban kerja
Berpikir aku
Dalam sekat-sekat bilik yang tak lagi menarik hati
Berontak aku
Dalam berbagai tanya dan pikiran-pikiran yang tidak jelas maknanya
Terhempas


Griya Peninsula, 9 Januari 2010

Wednesday, January 13, 2010

Outsourcing dan Air Mata Seorang Kawan

Selasa, 12 Januari 2010 mungkin menjadi hari yang biasa saja bagi sebagian besar orang lain di luar saya dan teman-teman training kerja saya. Selasa, 12 Januari 2010 atau jika bisa saya sebut sebagai 12 Jan 10 merupakan hari yang cukup bersejarah bagi saya dan teman-teman training kerja saya. Bagaimana tidak, hari tersebut merupakan hari pengumuman kelulusan dari training yang saya dan teman-teman saya ikuti di salah satu bank swasta nasional.
Tiga minggu lamanya saya dan teman-teman saya menjalani training. Dari mulai menerima materi layaknya mahasiswa di ruang kuliah, sampai dengan mentoring bersama senior kami. Semua itu merupakan proses yang harus kami lalui untuk mendapatkan satu jatah kursi kerja beserta hak dan tanggung jawabnya. Diakhir training kami pun harus menjalani ujian training, dimana ujian terbagi atas dua sesi. Pertama adalah ujian tulis, ujian ini merupakan ujian product knowledge dari perusahan tempat saya dan teman-teman saya mengikuti training. Kedua adalah ujian role play, ujian ini merupakan ujian praktek atau simulasi dari pekerjaan yang harus kami lakukan kelak, yaitu sebagai customer relation officer pada divisi call center. Layaknya ujian masuk perguruan tinggi, dalam ujian training itupun kami harus siap menerima kenyataan pahit jika kami tidak lolos karena nilai ujian kami dibawah nilai yang telah ditetapkan.
Buat saya pribadi, pekerjaan yang akan saya lakoni ini berbanding terbalik dengan latar belakang pendidikan saya. Untuk itu, dalam training ini saya memualai semuanya dari nol. Kondisi ini juga dialami oleh beberapa teman training kerja saya. Diantara mereka ada yang senasib dengan saya, yaitu banting steer demi mengais rupiah. Bahkan, demi pekerjaan dengan status pegawai OUTSOURCING. Bagaimana tidak, hampir semua perusahan-perusahaan besar di Indoenesia atau Jakarta khususnya menggunakan jasa OUTSOURCING dalam merekrut karyawan. OUTSOURCING! OUTSOURCING! Dan OUTSOURCING! Saya ulangi kata itu biar kita selalu ingat bahwa OUTSOURCING merupakan sistem yang harus selalu kita waspadai.
Dalam proses training yang saya dan teman-teman saya lalui banyak kejadian lucu yang kami lewati. Salah satunya adalah seorang teman saya yang saking pusingnya dengan materi training sampai jatuh sakit lalu salah minum obat. Alhasil, setiap pagi dia meminum dua kaleng susu cap beruang demi menetralisir racunnya. Tidak hanya itu, atas anjuran teman dia sampai harus mengoleskan balsam dengan bau yang menyengat kesekitar leher dan kepalanya serta menjalani CT scan untuk membuktikan bahwa otaknya baik-baik saja. Memang harus diakui bahwa kelas training kami agak berbeda dengan kelas yang lain. Kami menyebut kelas kami sebagai kelasnya orang autis. Hal ini karena tingkah laku saya dan teman-teman saya yang sering kali aneh dan berlebihan tiap kali mendapatkan materi training yang sulit dimengerti. Meski demikian, saya beranggapan bahwa kelas kami adalah kelas yang menarik dan menyenangkan.
Kembali lagi pada 12 Jan 10. Seperti yang saya katakan diatas, hari itu merupakan hari dimana nasib saya dan teman-teman saya ditentukan untuk satu tahun mendatang. Setelah menjalani training dan ujian akhirnya saya dan teman-teman saya akan mendengarkan pengumuman hasil nilai training sekaligus pengumuman mengenai siapa saja yang berhak menjadi karyawan OUTSOURCING diperusahaan kami mengikuti training. Satu, dua, tiga nama disebutkan satu persatu. Saya dan teman-teman saya saling pandang, jantung kami berdegup kencang seolah ingin menyeruak keluar. Saya mencoba tenang, teman disebelah saya berdoa disudut bibirnya.
Pengumuman selesai dibacakan. Tampaknya saya salah satu orang yang beruntung karena masuk dalam daftar peserta training yang lulus ujian sehingga berhak menjadi karyawan OUTSOURCING di perusahaan tersebut. Namun, tiba-tiba suasana janggal. Kami saling pandang dengan rasa cemas. Beberapa teman tidak lolos dan sisanya menyerah ditengah jalan. Kecemasan kami makin menjadi ketika salah seorang teman yang dikenal giat untuk menimba ilmu dan bersemangat untuk mengejar pekerjaan itu tidak lulus dalam ujian. Sebuah tamparan luar biasa bagi teman saya yang tidak lulus. Lalu, mau tidak mau dia meneteskan air mata tanda kecewa. Seketika, kesedihan menyelimuti suasana sore yang seharusnya bahagia. Kami semua bersedih dan seakan tidak rela jika salah satu teman saya yang giat itu harus menerima kenyataan pahit mengenai ketidak lulusannya.
Beberapa teman termasuk saya bergerak reaksioner. Kami coba melakukan semacam ‘advokasi’ dengan meminta pihak perusahaan memberi kesempatan sekali lagi kepada teman saya yang tidak lulus tersebut. Namun apa lacur, sistem terlalu kaku dan kokoh untuk kami robohkan. Tangan kami pun tak sanggup untuk sedikit menggetarkan tembok sistem yang angkuh. Teman saya yang tidak lulus akhirnya berhenti berharap dan mencoba lapang menerima kenyataan. Saya salut padanya, dia seorang pemuda perantauan dari seberang pulau yang mencoba peruntungan di Ibu kota. Sama halnya dengan saya, tapi tampaknya saya sedikit lebih beruntung. Namun demikian, impian yang kami bangun bersama untuk dapat tinggal bersama dalam satu rumah kontrakan kini terhempas begitu saja.
Saya terus berpikir, inikah realita pencari kerja di masa kini? Demi status pegawai OUTSOURCING pun kami harus meneteskan air mata. Entah titik mana yang harus di pertanyakan. Sistem yang ada dinegara inikah? Mentalitas bangsa inikah? Atau apa? Saya tetap menyesalkan tetesan air mata yang keluar demi pekerjaan dengan status pegawai OUTSOURCING. Namun disisi lain, saya dan teman-teman saya juga tidak bisa berkutik menghadapi situasi seperti ini. Semoga ada yang mau dan sempat mengadakan riset kecil mengenai OUTSOURCING dan sedikit memberi gambaran serta catatan kaki sebagai wacana baru yang bisa digulirkan.

Friday, January 1, 2010

Catatan Bodoh : Kisah usang yang ga pernah dimulai

Dalam kehidupan, kita mengenal pacaran sebagai sebuah masa untuk menjajaki pasangan kita satu sama lain. Meski menjadi sebuah perdebatan antara boleh atau tidaknya pacaran menurut suatu agama, tetap saja pacaran masih banyak dilakukan oleh banyak orang yang menyebut dirinya homo sapiens. Saya tidak pernah tahu asal mula munculnya kata ‘pacar’ dan ‘pacaran’ itu dari mana dan kapan tepatnya. Seakan-sakan dua kata tersebut muncul sebagai sesuatu yang ‘taken from granted’ dan diamini serta dipakai oleh kebanyak orang (Indonesia) sebagai kata yang paling bisa merepresentasikan masa penjajakan antar pasangan.
Suka tidak suka, mau tidak mau pacaran sudah menjadi sebuah tren dan gaya hidup masyarakat Indonesia, dari yang remaja, dewasa, orang tua, bahkan sudah menjadi menu yang disajikan untuk anak-anak. Saya adalah makhluk hidup jenis homo sapiens yang juga mengalami dan menjalani apa yang disebut dengan pacaran. Saya pertama kali pacaran sejak kelas 6 SD dengan perempuan yang bernama Ine, waktu yang terlalu cepat untuk mengalami fase ini. Untuk itu saya berkeyakinan bahwa saya dan pacar saya waktu itu berpacaran hanya atas dasar cinta monyet atau cinta buta sekalian juga tidak masalah, karena memang saya juga bingung kenapa saya waktu itu bisa berpacaran dengan dia. Seinget saya adalah memang pada waktu itu pacar-pacaran menjadi tren di kelas saya, dan ada sekitar 5 pasangan waktu itu termasuk saya.
Pada masa itu pula, saya mendapatkan kecupan dipipi untuk pertama kali dari perempuan yang bukan muhrim saya dan sayangnya sampai sekarang saya tidak pernah membalas kecupan itu. Saya juga sudah tidak pernah bertemu pacar pertama saya itu. Eits, pacar pertama bukan berarti cinta pertama saya lho. Saya pertama kali suka terhadap seorang perempuan ketika saya kelas 3 SD, yang kemudian hari saya pahami dengan istilah cinta pertama. Saat itu ada perempuan manis berambut panjang yang pindah kesekolah saya entah dari mana. Perempuan itu bernama Hesti. Pertemuan pertama kami dibangku kelas tiga memberi kesan mendalam kepada saya, apalagi ketika ada mekanisme perubahan formasi duduk campuran, antara laki-laki dan perempuan. Itu menjadi awal pembuka kedekatan kamu berdua, sampai-sampai saya punya panggilan tersendiri buat dia, ‘buntut kuda’. Saya memanggilnya dengan sebutan itu karena kambutnya yang panjang dan selalu diikat, sehingga rambutnya menyerupai ‘buntut kuda’.
Masa-masa indah bersama buntut kuda berakhir pada kelas 4 SD ketika harus ada pemisahan sekolah kami menjadi dua bagian, dia masuk dalam SDN TUGU 1 dan saya SDN TUGU 2. Semenjak itu, kami jarang berbicara lagi, entah kenapa kami justru seperti dua orang yang tidak pernah saling mengenal sebelumnya, dan saya hanya bisa memandangnya dari lewat jendela setiap kali saya lewat kelasnya. Hal ini berjalan sampai dengan waktu kelulusan kami. Namun demikian si Buntut Kuda selalu punya tempat tersendiri dihati saya, meski itu hanya sebagai cinta monyet belaka.
Memasuki fase selanjutnya dalam kehidupan saya, yaitu masa SMP. Waktu itu saya besekolah di SMP N 3 Bekasi yang lebih dikenal dengan sebutan Kha-Soes 75 yang diambil dari nama jalan tempat sekolah saya berdiri, yaitu Jl. KH. Agus Salim No.75. Saya tidak pernah membayangkan bahwa disekolah ini saya akan bertemu kembali dengan si Buntut Kuda. Rasa senang yang saya alami tidak bisa saya ungkapkan lewat kata-kata, yang pasti adrenalin saya selalu terpacu ketika bertemu dengannya. Masa MOS saya lewati dengan gulang gumilang dan ketika masa untuk sekolah dimulai ada sebuah peristiwa yang tidak pernah bisa saya lupakan sampai detik ini. Peristiwa itu terjadi ketika jam istirahat sekolah. Saat saya sedang duduk dan besendagurau bersama teman sabangku saya tiba-tiba ada seorang perempuan yang datang kekelas saya sambil berteriak-teriak: MANA YANG NAMANYA DIMAS? Sontak saya terkejut dan teman-teman saya langsung bilang : tuh yang lagi duduk diatas meja paling belakang! Saat itu saya bingung dan tidak mengerti apa yang terjadi, karena saya juga tidak pernah mengenal perempuan itu, yang saya tahu hanya dia sekelas dan duduk sebangku dengan si Buntut Kuda. Dengan tergesa-gesa perempuan itu menghampiri saya dan bertanya: Elu yang namanya Dimas? Dan dengan tegas saya jawab: iya, emang kenapa? Setelah itu dia terdiam sejenak dan mengatakan kalimat yang selalu terngiang ditelinga saya, dia mengatakan: temen sekelas gw ada yang suka sama elu, dia temen SD lu? Mendengar informasi itu, hati saya mencelos dan otak saya berpikir dengan cepat dan mencari-cari kemungkinan yang akan terjadi setelah itu.
Semenjak kejadian itu saya selalu menyempatkan diri untuk memperhatikan si buntut Kuda setiap kali dia ada dalam jangkauan pandangan saya. Bahkan, saya punya strategi jitu untuk selalu memandang dia meskipun sedang jam pelajaran. Strategi itu adalah ‘mengintip’. Yaps, saya duduk dibangku paling belakang disayap kanan kelas saya, nah kebetulan kelas saya dan kelas si Buntut kuda terhubung dengan sebuah pintu tepat dibelakang saya. Pada suatu hari, saya mendapati bahwa pintu itu sudah rusak dan gagang pintunya sudah hilang, otomatis hilangnya gagang pintu itu meninggalkan sebuah lubang yang cukup untuk melihat ruang dibelakang kelas saya. Ketika pertama kali saya mellihat atau lebih tepatnya mengintip lewat lubang itu, saya dapati si Buntut Kuda duduk dimeja terdepan dan sejajar dengan pintu tempat saya mengintip. Wah, beruntung pikir saya. Semenjak itu dan berminggu-minggu setelahnya, saya bisa memandang si Buntut Kuda itu lewat lubang pintu itu. Tapi jangan berpikir macam-macam, karena saya tidak pernah mendapati pemandangan yang “begitu-begitu”.
Perilaku saya tampaknya mulai disadari oleh si Buntut Kuda dan mungkin teman-teman kelasnya, karena beberapa waktu kemudian, lubang itu ditutup dengan kertas sehingga tidak menyisakan ruang sedikitpun bagi mata saya untuk mengamati si Buntu Kuda. Sial pikir saya.
Di pertengahan kelas 1 saya bertemu dengan seorang perempuan yang cukup cantik. Kebetulan di adalah kakak kelas saya, saya bertemu dia saat saya sedang mengikuti kampanye pemilihan ketu OSIS di sekolah saya. Pada saat saya kampanye, saya sangat malu ketia dia menggodai saya di depan teman-temannya. Namanya Vica, yang belakangan saya ketahui sebagai tetangga di kompleks rumah saya dulu. Kehadiran VIca cukup memberi pengaruh yang luar biasa pada obsesi terhadap si buntut kuda. Tak lama berkenalan Vica menyatakan perasaanya pada saya dari balik jendela kelasnya. Waktu itu tidak langsung saya jawab, karena saya berpikir keras soal buntut kuda. Ketololan saya waktu itu adalah, saya menerima Vica dan mengabaikan si buntu kuda. Kemudian, hubungan itu pun hanya bertahan kurang dari empat bulan. Saya menebaknya karena saya tidak bisa membuatnya nyaman. Semuanya memang soal kenyamanan, dan terus soal kenyamanan. Kenyamanan hampir selalu jadi alasan ampuh untuk memutuskan sebuah hubungan antar dua homo sapiens yang berbeda kelamin.
Satu tahun terlewati dan saya sudah menginjak kelas dua. Lagi-lagi saya harus berpisah jumpa dengan si buntut kuda karena sistem belajar yang dibagi atas dua shift, yaitu pagi dan siang. Saya kebagian sekolah siang dan buntut kuda pagi. Kondisi ini berlangsung selama setahun. Dan sepanjang tahun itu, saya dekat dan berpacaran dengan seorang perempuan yang berinisial A (untuk yang ini saya hanya menyebutkan inisial, karena dia punya karakter yang berbeda, dan saya coba menghargai itu). A merupakan partner kerja di kepengurusan OSIS. Tapi saya tidak mau memungkiri bahwa hubungan saya dengan A, sangat menyenangkan. Kami melewati banyak hal, sedikit ngambek namun tak pernah ada perselisihan yang membutuhkan waktu yang begitu panjang. Hubungan saya dengan A adalah hubungan terlama dari semua hubungan yang pernah saya lalui bersama orang lain. Meski sebagai teman, hubungan ini masih terjalin baik sampai dengan sekarang.
Hubungan saya dengan A sempat berakhir tiga kali. Kali pertama, karena dia menerima saya dengan terpaksa. Kali kedua, karena saya tidak nyaman dengan sikap dia dalam memperlakukan saya, kali ketiga adalah karena kami tak sanggup untuk Long Distant Relationship. Pada kali kedua saya dan A berpisah secara status, saya kembali mendekati Buntut Kuda. Dengan dibantu oleh seorang teman, saya mencoba melakukan penjakakan lagi. Waktu itu menjelang kelulusan atau lebih tepatnya menjelang liburan akhir sekolah kami ke Jogja, saya mencoba mengungkapkan perasaan saya kepada si Buntut Kuda. Dengan begitu gemetar saya mencoba mengungkapkan perasaan saya yang terpendam semenjak kelas tiga bangku sekolah dasar. Lalu, saya mendapatkan jawaban “tidak” dengan begitu tegas. Kemudian dia mejelaskan beberapa alasan, cukup rasional, dan mau tidak mau saya terima keputusan dan alasan di menolak saya. Fiiuuuuhhh…
Lulus SMP dan memasuki dunia SMA. Ini adalah periode dimana saya tidak prnah berhubungan sama sekali dengan si Buntut Kuda. Kalau tidak salah, saya hanya pernah sekali bertemu dengannya, dan itupun hanya sambil lalu. Kondisi ini berlangsung sampai dengan saya kuliah. Saat kuliah, umat manusia melakukan banyak sekali terobosan di dunia cyber, dan saya pun mencoba melakukan terobosan lewat sana. Friendster diciptakan, sebuah situs pertemanan yang waktu itu dianggap begitu ajaib karena bisa mempertemukan satu orang dengan orang lainnya jika keduanya memiliki account di Friendster. Lewat Friendster saya mencoba mencari si Buntut Kuda, dan EUREKA!!! Aya berhasil menemukannya dan kembali menjalin hubungan pertemanan yang lama telah memudar. Setelah Friendster tidak lagi popular dan tergantikan oleh Facebook sebagai situs pertemanan yang lebih menyediakan fitur menarik, saya masih menjalin hubungan pertemanan denfgan si buntut kuda. Namun, agaknya tidak pernah bertemunya kami selama lebih dari enam tahun telah membuat semuanya lebih berbeda. Perasaan saya kepadanya hilang sepenuhnya, tapi dia tetap memiliki satu tempat spesial di hati saya. Meski kisah special kami tidak pernah dimulai, sampai dengan detik ini.

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...