Friday, January 1, 2010

Catatan Bodoh : Kisah usang yang ga pernah dimulai

Dalam kehidupan, kita mengenal pacaran sebagai sebuah masa untuk menjajaki pasangan kita satu sama lain. Meski menjadi sebuah perdebatan antara boleh atau tidaknya pacaran menurut suatu agama, tetap saja pacaran masih banyak dilakukan oleh banyak orang yang menyebut dirinya homo sapiens. Saya tidak pernah tahu asal mula munculnya kata ‘pacar’ dan ‘pacaran’ itu dari mana dan kapan tepatnya. Seakan-sakan dua kata tersebut muncul sebagai sesuatu yang ‘taken from granted’ dan diamini serta dipakai oleh kebanyak orang (Indonesia) sebagai kata yang paling bisa merepresentasikan masa penjajakan antar pasangan.
Suka tidak suka, mau tidak mau pacaran sudah menjadi sebuah tren dan gaya hidup masyarakat Indonesia, dari yang remaja, dewasa, orang tua, bahkan sudah menjadi menu yang disajikan untuk anak-anak. Saya adalah makhluk hidup jenis homo sapiens yang juga mengalami dan menjalani apa yang disebut dengan pacaran. Saya pertama kali pacaran sejak kelas 6 SD dengan perempuan yang bernama Ine, waktu yang terlalu cepat untuk mengalami fase ini. Untuk itu saya berkeyakinan bahwa saya dan pacar saya waktu itu berpacaran hanya atas dasar cinta monyet atau cinta buta sekalian juga tidak masalah, karena memang saya juga bingung kenapa saya waktu itu bisa berpacaran dengan dia. Seinget saya adalah memang pada waktu itu pacar-pacaran menjadi tren di kelas saya, dan ada sekitar 5 pasangan waktu itu termasuk saya.
Pada masa itu pula, saya mendapatkan kecupan dipipi untuk pertama kali dari perempuan yang bukan muhrim saya dan sayangnya sampai sekarang saya tidak pernah membalas kecupan itu. Saya juga sudah tidak pernah bertemu pacar pertama saya itu. Eits, pacar pertama bukan berarti cinta pertama saya lho. Saya pertama kali suka terhadap seorang perempuan ketika saya kelas 3 SD, yang kemudian hari saya pahami dengan istilah cinta pertama. Saat itu ada perempuan manis berambut panjang yang pindah kesekolah saya entah dari mana. Perempuan itu bernama Hesti. Pertemuan pertama kami dibangku kelas tiga memberi kesan mendalam kepada saya, apalagi ketika ada mekanisme perubahan formasi duduk campuran, antara laki-laki dan perempuan. Itu menjadi awal pembuka kedekatan kamu berdua, sampai-sampai saya punya panggilan tersendiri buat dia, ‘buntut kuda’. Saya memanggilnya dengan sebutan itu karena kambutnya yang panjang dan selalu diikat, sehingga rambutnya menyerupai ‘buntut kuda’.
Masa-masa indah bersama buntut kuda berakhir pada kelas 4 SD ketika harus ada pemisahan sekolah kami menjadi dua bagian, dia masuk dalam SDN TUGU 1 dan saya SDN TUGU 2. Semenjak itu, kami jarang berbicara lagi, entah kenapa kami justru seperti dua orang yang tidak pernah saling mengenal sebelumnya, dan saya hanya bisa memandangnya dari lewat jendela setiap kali saya lewat kelasnya. Hal ini berjalan sampai dengan waktu kelulusan kami. Namun demikian si Buntut Kuda selalu punya tempat tersendiri dihati saya, meski itu hanya sebagai cinta monyet belaka.
Memasuki fase selanjutnya dalam kehidupan saya, yaitu masa SMP. Waktu itu saya besekolah di SMP N 3 Bekasi yang lebih dikenal dengan sebutan Kha-Soes 75 yang diambil dari nama jalan tempat sekolah saya berdiri, yaitu Jl. KH. Agus Salim No.75. Saya tidak pernah membayangkan bahwa disekolah ini saya akan bertemu kembali dengan si Buntut Kuda. Rasa senang yang saya alami tidak bisa saya ungkapkan lewat kata-kata, yang pasti adrenalin saya selalu terpacu ketika bertemu dengannya. Masa MOS saya lewati dengan gulang gumilang dan ketika masa untuk sekolah dimulai ada sebuah peristiwa yang tidak pernah bisa saya lupakan sampai detik ini. Peristiwa itu terjadi ketika jam istirahat sekolah. Saat saya sedang duduk dan besendagurau bersama teman sabangku saya tiba-tiba ada seorang perempuan yang datang kekelas saya sambil berteriak-teriak: MANA YANG NAMANYA DIMAS? Sontak saya terkejut dan teman-teman saya langsung bilang : tuh yang lagi duduk diatas meja paling belakang! Saat itu saya bingung dan tidak mengerti apa yang terjadi, karena saya juga tidak pernah mengenal perempuan itu, yang saya tahu hanya dia sekelas dan duduk sebangku dengan si Buntut Kuda. Dengan tergesa-gesa perempuan itu menghampiri saya dan bertanya: Elu yang namanya Dimas? Dan dengan tegas saya jawab: iya, emang kenapa? Setelah itu dia terdiam sejenak dan mengatakan kalimat yang selalu terngiang ditelinga saya, dia mengatakan: temen sekelas gw ada yang suka sama elu, dia temen SD lu? Mendengar informasi itu, hati saya mencelos dan otak saya berpikir dengan cepat dan mencari-cari kemungkinan yang akan terjadi setelah itu.
Semenjak kejadian itu saya selalu menyempatkan diri untuk memperhatikan si buntut Kuda setiap kali dia ada dalam jangkauan pandangan saya. Bahkan, saya punya strategi jitu untuk selalu memandang dia meskipun sedang jam pelajaran. Strategi itu adalah ‘mengintip’. Yaps, saya duduk dibangku paling belakang disayap kanan kelas saya, nah kebetulan kelas saya dan kelas si Buntut kuda terhubung dengan sebuah pintu tepat dibelakang saya. Pada suatu hari, saya mendapati bahwa pintu itu sudah rusak dan gagang pintunya sudah hilang, otomatis hilangnya gagang pintu itu meninggalkan sebuah lubang yang cukup untuk melihat ruang dibelakang kelas saya. Ketika pertama kali saya mellihat atau lebih tepatnya mengintip lewat lubang itu, saya dapati si Buntut Kuda duduk dimeja terdepan dan sejajar dengan pintu tempat saya mengintip. Wah, beruntung pikir saya. Semenjak itu dan berminggu-minggu setelahnya, saya bisa memandang si Buntut Kuda itu lewat lubang pintu itu. Tapi jangan berpikir macam-macam, karena saya tidak pernah mendapati pemandangan yang “begitu-begitu”.
Perilaku saya tampaknya mulai disadari oleh si Buntut Kuda dan mungkin teman-teman kelasnya, karena beberapa waktu kemudian, lubang itu ditutup dengan kertas sehingga tidak menyisakan ruang sedikitpun bagi mata saya untuk mengamati si Buntu Kuda. Sial pikir saya.
Di pertengahan kelas 1 saya bertemu dengan seorang perempuan yang cukup cantik. Kebetulan di adalah kakak kelas saya, saya bertemu dia saat saya sedang mengikuti kampanye pemilihan ketu OSIS di sekolah saya. Pada saat saya kampanye, saya sangat malu ketia dia menggodai saya di depan teman-temannya. Namanya Vica, yang belakangan saya ketahui sebagai tetangga di kompleks rumah saya dulu. Kehadiran VIca cukup memberi pengaruh yang luar biasa pada obsesi terhadap si buntut kuda. Tak lama berkenalan Vica menyatakan perasaanya pada saya dari balik jendela kelasnya. Waktu itu tidak langsung saya jawab, karena saya berpikir keras soal buntut kuda. Ketololan saya waktu itu adalah, saya menerima Vica dan mengabaikan si buntu kuda. Kemudian, hubungan itu pun hanya bertahan kurang dari empat bulan. Saya menebaknya karena saya tidak bisa membuatnya nyaman. Semuanya memang soal kenyamanan, dan terus soal kenyamanan. Kenyamanan hampir selalu jadi alasan ampuh untuk memutuskan sebuah hubungan antar dua homo sapiens yang berbeda kelamin.
Satu tahun terlewati dan saya sudah menginjak kelas dua. Lagi-lagi saya harus berpisah jumpa dengan si buntut kuda karena sistem belajar yang dibagi atas dua shift, yaitu pagi dan siang. Saya kebagian sekolah siang dan buntut kuda pagi. Kondisi ini berlangsung selama setahun. Dan sepanjang tahun itu, saya dekat dan berpacaran dengan seorang perempuan yang berinisial A (untuk yang ini saya hanya menyebutkan inisial, karena dia punya karakter yang berbeda, dan saya coba menghargai itu). A merupakan partner kerja di kepengurusan OSIS. Tapi saya tidak mau memungkiri bahwa hubungan saya dengan A, sangat menyenangkan. Kami melewati banyak hal, sedikit ngambek namun tak pernah ada perselisihan yang membutuhkan waktu yang begitu panjang. Hubungan saya dengan A adalah hubungan terlama dari semua hubungan yang pernah saya lalui bersama orang lain. Meski sebagai teman, hubungan ini masih terjalin baik sampai dengan sekarang.
Hubungan saya dengan A sempat berakhir tiga kali. Kali pertama, karena dia menerima saya dengan terpaksa. Kali kedua, karena saya tidak nyaman dengan sikap dia dalam memperlakukan saya, kali ketiga adalah karena kami tak sanggup untuk Long Distant Relationship. Pada kali kedua saya dan A berpisah secara status, saya kembali mendekati Buntut Kuda. Dengan dibantu oleh seorang teman, saya mencoba melakukan penjakakan lagi. Waktu itu menjelang kelulusan atau lebih tepatnya menjelang liburan akhir sekolah kami ke Jogja, saya mencoba mengungkapkan perasaan saya kepada si Buntut Kuda. Dengan begitu gemetar saya mencoba mengungkapkan perasaan saya yang terpendam semenjak kelas tiga bangku sekolah dasar. Lalu, saya mendapatkan jawaban “tidak” dengan begitu tegas. Kemudian dia mejelaskan beberapa alasan, cukup rasional, dan mau tidak mau saya terima keputusan dan alasan di menolak saya. Fiiuuuuhhh…
Lulus SMP dan memasuki dunia SMA. Ini adalah periode dimana saya tidak prnah berhubungan sama sekali dengan si Buntut Kuda. Kalau tidak salah, saya hanya pernah sekali bertemu dengannya, dan itupun hanya sambil lalu. Kondisi ini berlangsung sampai dengan saya kuliah. Saat kuliah, umat manusia melakukan banyak sekali terobosan di dunia cyber, dan saya pun mencoba melakukan terobosan lewat sana. Friendster diciptakan, sebuah situs pertemanan yang waktu itu dianggap begitu ajaib karena bisa mempertemukan satu orang dengan orang lainnya jika keduanya memiliki account di Friendster. Lewat Friendster saya mencoba mencari si Buntut Kuda, dan EUREKA!!! Aya berhasil menemukannya dan kembali menjalin hubungan pertemanan yang lama telah memudar. Setelah Friendster tidak lagi popular dan tergantikan oleh Facebook sebagai situs pertemanan yang lebih menyediakan fitur menarik, saya masih menjalin hubungan pertemanan denfgan si buntut kuda. Namun, agaknya tidak pernah bertemunya kami selama lebih dari enam tahun telah membuat semuanya lebih berbeda. Perasaan saya kepadanya hilang sepenuhnya, tapi dia tetap memiliki satu tempat spesial di hati saya. Meski kisah special kami tidak pernah dimulai, sampai dengan detik ini.

No comments:

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...