Friday, December 25, 2009

Lho Kok, Ditarik di Dalam Pak?

Dalam studi kebijakan publik, kebijakan publik secara singkat dimaknai sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan berdasarkan undang-undang melalui peraturan-peraturan yan berfungsi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada di masyarakat. Pajak atau retribusi merupakan salah satu jenis kebijakan publik yang mempunyai fungsi sebagai salah satu sumber devisa negara. Sumber devisa yang terakumulasi ini nantinya akan diolah oleh pemerintah untuk biaya pembangunan di berbagai bidang kehidupan masyarakat.

Berkaitan dengan pajak atau retribusi, diterminal bus terdapat salah satu jenis retribusi berupa peron yang harus dibayarkan oleh masyarakat yang datang kesebuah terminal bus. Peron ini biasanya ditarik saat seorang pengunjung terminal hendak memasuki kawasan dalam terminal. Besaran peron bervariasi tergantung dengan kebijakan tiap pemerintah daerah karena hasil pendapatan peron akan diolah dalam APBD.

Berhubungan dengan peron, saya punya cerita yang -bagi saya- sangat menggelikan. Cerita ini merupakan sebuah kejadian nyata yang terjadi pada tanggal 18 Desember 2009 di terminal Bekasi. Waktu itu saya hendak pulang kekampung halaman saya di Purwokerto guna menonton sebuah pementasan teater (yang akhirnya tidak berhasil saya tonton). Keberangkatan saya ke Purwokerto waktu itu menggunakan sebuah bus milik salah satu perusahaan swasta yang berasal dari salah satu kota di wilayah Jawa Tengah. Setelah membeli tiket dan menunggu selama empat jam, akhirnya bus yang saya tumpangi berangkat. Waktu itu sekitar pukul lima sore, bus mulai berjalan pelan menuju pintu keluar terminal. Belum sempat keluar terminal, tiba-tiba seorang petugas DLLAJ dengan seragam lengkap naik ke bus yang saya tumpangi. Saya terkejut, ketika petugas itu meminta uang sebesar seribu rupiah kepada penumpang yang ada dalam bus itu dengan dalih uang peron. Dalam hati saya bertanya “maksudnya apa ini?” Saya heran, karena sepanjang yang saya tahu, bahwa peron dikenakan pada pengunjung terminal ketika hendak masuk ke terminal. Cara penarikan peron saat penumpang didalam Bus tanpa memberikan karcis peron tersebut mengundang cukup banyak pertanyaan. Di kota yang cukup besar seperti Bekasi, seharusnya mekanisme yang dipakai tidak “urakan” seperti itu. Saya justru menganggap cara seperti itu seperti pengemis yang masuk kedalam bus dan meminta sedekah, namun bedanya ini ‘berseragam’.

Ketika itu, saya melihat setiap penumpang mengikuti kemauan petugas dengan membayarkan uang sebesar seribu rupiah kepada petugas tersebut. Ketika petugas itu menghampiri tempat duduk saya, saya bertanya padanya sambil memberikan uang sebesar seribu rupiah “lho kok bayar peron di dalam bus pak? Emang peraturannya gimana sih?” dengan agak cemberut dan melotot si petugas diam saja dan mengembalikan uang saya setengahnya atau sebesar lima ratus rupiah. Dengan demikian ada perlakuan yang berbeda antara saya dengan penumpang lainnya. Saya hanya membayar lima ratus rupiah sedangkan penumpang lain membayar seribu rupiah. Perbedaan perlakuan ini apakah karena saya berlagak kritis dengan bertanya atau seperti apa saya juga tidak paham sampai dengan sekarang. Namun, saya rasa bukan dititik itu permasalahannya. Hal yang ganjil menurut saya adalah, jika memang ada kebijakan untuk menarik uang peron kepada setiap pengunjung penumpang bahkan ketika sudah berada dalam bus yang sedang berangkat mengapa tidak dipukul rata semua sebesar seribu rupiah dan diberikan karcis peron? Ini seakan-akan menjadi suatu hal yang tidak jelas dasar peraturannya. Bahkan, ini bisa saja dianggap sebagai pungutan liar yang dilakukan justru oleh petugas DLLAJ diterminal Bekasi. Berbeda dengan mekanisme yang ada di kampong halaman saya di Purwokerto. Di Purwokerto, peron ditarik kepada pengunjung yang hendak masuk terminal. Biasanya, pengunjung yang hendak bepergian atau sudah memiliki tiket bus tidak ditarik peron lagi. Dengan kata lain, hanya pengantar saja yang ditarik biaya peron.

Jika melihat perbandingan yang ada di terminal Purwokerto dan terminal Bekasi akan ditemukan perbedaan mekanisme yang sangat kontras sekali. Mungkin bagi beberapa orang persoalan ini dianggap sepele. Namun, jika kita mengacu pada tuntutan untuk menciptakan good governance yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, mekanisme penarikan peron di terminal Bekasi tentunya sangat jauh dari situ. Ini karena dengan ditariknya peron di dalam bus, ketika bus hendak keluar terminal, tentunya membuat penumpang bus tidak nyaman. Selain itu, kejadian ini juga berpotensi untuk menimbulkan preseden buruk terhadap petugas DLLAJ di terminal Bekasi. Salah satu preseden buruk yang mungkin akan muncul adalah adanya indikasi pungutan liar yang mengarah pada korupsi di tingkatan petugas DLLAJ di terminal Bekasi. Ini juga menguatkan anggapan bahwa budaya korupsi semacam itu memang sudah menjadi akar yang sulit dicerabut, bahkan di birokrasi-birokrasi yang bergerak di akar rumput.

Jika saja ini dianggap sebagai pungutan liar maka yang harus dikaji adalah, pertama, mengenai sistem, peraturan, ataupun undang-undang yang mengatur peron sebagai salah satu jenis retribusi. Kedua, mengenai perilaku minor yang dilakukan oleh petugas-petugas DLLAJ dilapangan. Jika kedua hal ini dikaji dan dibenahi, bukan tidak mungkin kejadian seperti yang saya ceritakan tidak perlu terjadi (lagi).

No comments:

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...