Friday, December 4, 2009

Naik Busway itu menyenangkan

Sudah hampir satu bulan saya menetap di Bekasi. Waktu-waktu yang saya miliki selama di Bekasi saya habiskan untuk mencari pekerjaan. Dengan bermodal ijasah dan gelar sarjana ilmu politik dengan IPK 3,22 saya kirim lamaran dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Kemudian, berbagai macam test masuk kerja pun saya ikuti, dari mulai test berupa psikotes sampai dengan wawancara. Bahkan, dalam satu hari saya bisa mengikuti test di dua perusahaan yang berbeda. Ini saya lakukan demi mewujudkan mimpi saya, yaitu ‘menaklukkan Jakarta’. Tampak agak heroik memang kata-kata yang saya gunakan, namun paling tidak ini menjadi semacam motivator bagi saya untuk tetap berusaha dan berusaha.

Di Bekasi, saya adalah pendatang. Saya tinggal dirumah saudara atau diistilahkan dengan ‘menumpang’. Karena menumpang, banyak konsekuensi-konsekuensi yang harus saya terima dan dijalankan selama proses mencari pekerjaan. Salah satu konsekuensinya adalah saya tidak memiliki fasilitas kendaraan pribadi yang dapat saya gunakan untuk bepergian. Alhasil, saya hampir selalu bepergian menggunakan kendaraan umum yang disediakan pemerintah, contohnya adalah busway.

Di Indonesia sendiri, fasilitas busway belum lama disediakan oleh pemerintah Jakarta. Sebagai kendaraan umum a la alat transportasi dinegara-negara seperti China atau Jepang, busway diharapkan dapat mengurangi tingkat kemacetan di Jakarta. Namun, apa lacur, egoisme individu masyarakat kota untuk menaiki kendaraan pribadi ternyata belum mampu dikalahkan oleh kemunculan busway sebagai alat transportasi publik. Alhasil, busway lagi-lagi hanya menjadi alat transportasi masyarakat kelas menengah kebawah dalam strata sosial masyarakat kota.

Bagi saya sendiri, busway merupakan alat transportasi yang luar biasa. Hanya dengan Rp.3500 untuk sebuah tiket busway saya bisa berkeliling kota Jakarta asal tidak keluar dari shelter busway. Hal ini kemudian benar-benar saya manfaatkan secara maksimal. Disetiap kesempatan, saya selalu memilih untuk naik busway ketika saya bepergian, khususnya ketika ada panggilan test atau wawancara dari suatu perusahaan. Disamping lebih murah, busway juga (cenderung) dapat membuat saya terhindar dari kemacetan, sehingga saya dapat lebih cepat sampai ke tempat tujuan.

Berbicara soal macet, saya ingat saat masih kuliah dulu, ada seorang teman yang mengatakan bahwa, kemacetan di kota besar seperti Jakarta adalah akibat dari karakter masyarakat kota yang individualis dan mengedepankan prestige. Apakah itu benar? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Jika ditelaah lebih dalam, permasalahan macet lebih tepat jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah. Pemerintah punya andil yang cukup besar dalam hal kemacetan dan juga tidak maksimalnya fasilitas umum seperti busway yang diharap dapat mengurangi kemacetan. Jika saja, pajak bea dan cukai kendaraan impor dinaikkan, pajak kepemilikan kendaraan pribadi dinaikkan, jumlah produksi kendaraan ditekan, atau sistem kredit kendaraan di revisi mungkin bisa saja tingkat kemacetan di Jakarta atau kota besar lainnya dapat ditekan. Hanya saja pemerintah (mungkin) belum berani untuk mengeluarkan kebijakan seperti demikian. Padahal, kebijakan yang tadi saya sebutkan, bukan untuk ‘mematikan’ industri otomotif di Indonesia, namun untuk mengantisipasi dampak negatif dari ganasnya industri otomotif di Indonesia, contoh yang paling jelas adalah macet

Di lain sisi, saya menemukan kenikmatan-kenikmatan tersendiri saat saya menaiki busway. Misalnya, saya merasa seakan-akan saya berada di Jepang ketika menaiki busway. Agak berlebihan memang, tapi ini memang benar saya rasakan. Ketika saya melihat begitu banyak orang-orang yang hendak berangkat kerja, berdesak-desakkan dalam busway, saya merasakan suasana yang berbeda (paling tidak saya melihat suasana seperti itu di film dengan setting tempat di Jepang). Selain itu, menaiki busway memberi pelajaran berharga bagi saya dalam hal berinteraksi dengan dunia sosial. Ini mungkin tidak bisa kita temukan ketika kita menaiki kendaraan pribadi. Dengan kata lain, setiap hari kita (kemungkinan) hanya bertemu teman-teman kantor atau orang-orang yang terbatas dalam lingkungan tertentu. Akan tetapi, ketika kita naik busway, kita punya kesempatan lebih untuk bertemu -atau kalau kita beruntung- berkenalan dengan orang baru yang belum kita kenal sebelumnya. Bepergian dengan busway atau dengan kendaraan umum lainnya, memberi kita ruang agar tidak terasing dalam fasilitas pribadi yang kita miliki, disamping dapat mengurangi kemacetan kota karena dominasi kendaraan-kendaraan pribadi yang begitu banyak. Misalnya, seperti yang saya alami ketika menaiki busway dari Manggarai menuju Kampung Melayu. Saat saya sedang diam menunggu busway saya bekenalan dengan seorang laki-laki yang bekerja di sebuah perusahaan swasta. Dalam perkenalan itu kami banyak berbisara soal peluang kerja di Jakarta dan juga tips-tips dalam mencari kerja. Keuntungan lebih yang saya dapat ketimbang sekedar berkenalan dan berbincang ringan adalah kami bertukar nomor ponsel dan juga dia memberi beberapa informasi mengenai lowongan pekerjaan. Luar biasa, ini adalah contoh keuntungan yang dapat ditemukan dalam lingkungan sosial. Coba bayangkan, jika dalam sebuah kesempatan saya bertemu dengan orang lain yang secara ajaib bisa memberi saya peluang kerja yang begitu besar. Selain itu, fenomena ini tidak bisa kita temukan dalam situs jejaring sosial seperti facebook. Melalui facebook, kita tidak bisa berinteraksi dengan teman secara langsung (face to face). Salah satu kenikmatan dari berkomunikasi adalah ketika kita juga bisa menatap dan memperhatikan gesture lawan bicara kita. Apalagi jika dilakukan sambil minum kopi atau berjalan-jalan ke suatu tempat.

No comments:

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...