Tuesday, December 22, 2015

Would you, I'm begging

Beberapa hari kemarin aku tidak menulis, bukan ingin melupa namun justru mengingat-ingat. Mengingat setiap jengkal langkah setiap tutur kata, setiap degup jantung. Mengingat tentang apa dan dimana tentang ada dan tiada. Bukan perkara mudah menghapus tiap senti ingatan yang tak tercerabut dari akarnya. Bulan makin dekat dengan ujungnya, ada yang gegap gempita menyambutnya, ada yang nyinyir memeluknya. Barangkali aku masuk kelompok kedua. Rasanya seperti akan memeluk kematian, meski tak pernah merasa apa itu mati, bagaimana rasanya tak tergambar namun terasa hambar. Detik-detik berhamburan, seakan mereka melarikan diri dari kejaran waktu. Tinggal beberapa hari lagi, waktu penghakiman akan tiba. waktu akan mengganjar diriku dengan jiwa yang sendu, hati yang pilu. Entah kesanggupan apa yang kuharapkan dari ruang kosong. Puaskan tiap udara yang bisa kuhirup, tiap penglihatan yang terlihat, tiap pandang tanpa temu. Puaskan!

...Would you, I'm begging...

Thursday, December 17, 2015

Deg!

Jantung ini serasa mau tercerabut dari tempatnya. Arteriku tersumbat, bibir kelu, mulut membisu. Aku berdiri diantara kaki yang kaku, menatap kondisi dalam ruang yang beku. Kata-kata seolah menjadi barang langka yang sulit kutemukan adanya, bahkan untuk sekedar kata "eh" atau hey". Tidak ini adalah gambaran hati yang fana, pikiran yang kusut dan hati yang kalut. Ingin rasanya kembali ke sudut O, menata dunia keegoisanku sendiri, dalam nadir, dalam nyinyir. Matahari tertutup mendung hari ini, semendung ruangan keegoisan itu. Gelap, kelabu, tidak ini bukan soal logika. Ini soal apa dan bagaimana rasa diciptakan dan dikonstruksi oleh garis lengkung, oleh bilangan-bilangan, oleh angka-angka.
Ah!

Wednesday, December 16, 2015

10 Days Left

10 adalah angka penting dalam hidup saya, 10 adalah hari dimana saya mulai menghidup O2, belum mampu melihat namun  mampu merasakan. 10 adalah hari dimana saya merayakan hidup setiap tahunnya. Namun kali ini 10 menjadi momok yang begitu mengerikan dan sulit saya terima kebenaranya. 10 menjadi angka pertama dalam hitungan mundur. 10 menjadi angka pertama dimana hari menjadi kelabu, 10 menjadi angka pertama dimana hidup tak lagi hidup. 10 menjadi angka pertama dimana kaki harus tetap melangkah meski bongkahan batu menyesakkan dada.

Hari ini adalah kali pertama dimana saya benci angka10.

Monday, December 14, 2015

Dalam sebuah Kotak

Aku dan senja memasuki kotak yang sama dipenghujung hari, senja tak sedang bersembunyi. Barangkali malam masih terlampau jauh. Aku tatap senja yang jingga, hingga wajah ungu dan bibir kelu. Aku lepaskan tinju pada wajahku, coba menyadarkan diri pada suasana. Kotak bergerak cepat untuk menyadarkanku bahwa senja hari ini semu. Nah, senja ingin bebas mewarnai langit, menjadi keindahan ujung sore. Memberi terang, memberi ruang pada penikmat senja yang barangkali sedang sendiri mengisi waktu. Senja ingin bebas, tidak terikat dan mengikatkan diri pada, gravitasi.

1212

Angka, adalah bentuk pasti dalam kehidupan. Segala bentuk kepastian akan bermula dari angka menjadi angka. Angka tidak bersifat subjektif, sebaliknya, angka sangat objektif. Angka 1212 barangkali menjadi sesuatu yang biasa bagi sebagian orang, dan luar biasa bagi sebagian yang lain. Lalu bagaimana dengan saya?

1212, merujuk pada tanggal 12 bulan 12. Hari dimana segala asa bercampur aduk. hari dimana ketakutan dan keberanian menjadi sangat tipis. Hari dimana harga-harga turun dalam barisan angka, sementara saya hanya mampu melihat dan merenungi angka 1212.

1212, menjadi salah satu episode terbaik sekaligus ternyiyir menuju akhir tahun ini. Hari ketika suara Mastodon berwajah Arjuna, bicara dengan tak leluasa meski hanya berucap "hey" pun terbata-bata. Entah, apakah episode 1212 ini adalah kebenaran dari tindakan atau kebodohan dari tindakan. Saya pun bingung, bahkan algojonya pun tak sanggup mengartikan kicauan-kicauan burung setelahnya.

Ah, makin hari makin tak terkontrol, makin kacau, makin, pilu, makin gagu, makin sendu.
But the fact I always remember the day
and the day who belong to ...

Friday, December 11, 2015

Sebuah Tanda Tanya

Hari akan terus berjalan sebagaimana mestinya, malam akan berganti pagi dengan ala kadarnya. Aku pun akan berjalan, terus terkadang berlari sambil menatap setiap langkah dibawah langit Jakarta. Sesekali, mendengarkan Nicolas Saputra melafalkan guratan kata dibawah ini....


Akhirnya semua akan tiba pada pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku.
kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi.
kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,
lebih dekat.
lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tau dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita
apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta
haripun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu
manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan
dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru.

Selasa, 1 April 1969
-dari buku harian Soe Hok Gie-

Clear Desember

Aku mendapati senja melupakan pagi. Entah, barangkali malam menjadi lebih indah kali ini. Atau barangkali aku terlalu berprasangka. Mungkin aku yang terlalu asik bergumul dengan pikiranku, dengan pertanyaan-pertanyaan, dengan amarah, dengan keingintahuan.

Senja tak lagi jingga, carut marut hari melarungkan segala asa. Kini tinggal sisa dari keikhlasan yang harus diikhlasakan. Biar berdarah-darah, ambil peduli! Kudapati senja tak lagi merindu pagi, dia merekatkan pada malam demi melupakan pagi.

Thursday, December 10, 2015

Aksioma Desember 2015

21 hari lagi menjelang pergantian tahun. Barangkali kebanyakan orang sedang menyiapkan berbagai rencana untuk menyambut tahun yang baru. Demikian juga saya, saya sedang menyiapkan penyambutan tahun yang baru, bukan! bukan menyambut tahunnya, namun menyiapkan mental sekuat-kuatnya menyambut aksioma yang akan terjadi pada akhir tahun ini. Aksioma, kebenaran yang tidak terbantahkan kebenarannya, kenyataan yang sangat sulit dihindarkan adanya, kenyataan akan pergi yang tak berujung pada kembali.
Ah, agaknya saya terlalu naif memandang bulan ini, ada orang yang merasakan Desember is the longest month ever. Namun saya sebaliknya, saya ingin Desember ini tidak pernah habis, tidak pernah berujung, tidak pernah berakhir. Meskipun pandang tak pernah bertemu pandang, meskipun kata tak pernah berbalas kata. Ini aksioma, baiklah ini aksioma. saya garis bawahi kata ini AKSIOMA!
Satu hal positif yang barangkali akan terjadi pada pergantian tahun adalah, sebagian orang tidak lagi merasakan hujan dibulan Desember, lagu ERK, selalu soal lagu ERK. hmm.. lirik bagian ini, "... Sampai nanti ketika hujan tak lagi meneteskan duka meretas luka, sampai hujan memulihkan luka...." sial

Tuesday, December 8, 2015

December 2015

Hujan sudah mulai turun akhir-akhir ini. Seperti ERK dalam lagunya "aku selalu suka sehabis hujan dibulan Desember", yap. Hujan adalah cara langit meluapkan kesedihan. Hujan adalah ekpresi paling jujur kala langit terasa hambar setelah panas seharian. Namun demikian, kembali pada lagu milik ERK, apakah pelangi akan setia menunggu hujan reda? entah, entah, apakah jawaban itu akan muncul dengan segera.
Hari-hari ini terasa menjenuhkan, aktivitas sehari-hari membawa diri ini ingin jauh dari rutinitas. Ingin menghilang dari keramaian. Menikmati udara segar pedesaan tampaknya akan menjadi obat penawar yang manis. Ditemani secangkir teh hangat dan kemudian menunggu senja...

ahhh senja "I'm afraid I might run to you and hug you tight"

Monday, November 30, 2015

Sebelum Tertidur Panjang

Kuceritakan satu dongeng yang akan memupus lelahmu hari ini, yang akan mengantarmu tidur, jadi marilah sini, rebahkan kepalamu di pangkuanku dan akan kubelai rambutmu lalu aku akan bercerita mengenai seorang pangeran dan seorang gadis...

Di suatu tempat yang tidak terikat waktu dan jarak, tersebutlah seorang pangeran yang dulunya berasal dari rakyat jelata. dia seorang pangeran yang baik hati, dan kebaikan hati dan kelembutan jiwanya terpancar kuat saat ia tersenyum.
pangeran itu membangun benteng yang sangat tinggi untuk melindungi kerajaannya, lalu ia memasukkan keluarga, sahabat, dan rakyatnya ke dalam benteng itu, tapi tak lama kemudian ia mengeluarkan beberapa sahabatnya dulu yang sekarang ternyata berkhianat.

Di istananya itu ia memiliki sebuah menara yang tinggi dengan lonceng di atasnya, di sanalah ia berdiam diri di kala gundah untuk menenangkan pikiran sebelum kembali mengurusi dan menghadapi masalah kerajaannya.

Namun, akhirakhir ini saat ia berada di puncak menara itu, ia terusik mendengar suara dentingan kecapi yang di petik oleh seorang gadis di luar istananya. suara kecapi itu mengusik kesendiriannya, tapi ia pun merindukan dentingan kecapi itu kala suara itu tak terdengar

Lalu apakah pangeran itu jatuh hati pada sang gadis?
apakah pangeran itu akan memasukkan gadis itu dalam istananya?
atau justru ia akan membuka lebar gerbang istananya dan berlari menemui gadis itu?

Thursday, October 8, 2015

habis perkara

Kau berpikir soal perasaan, Aku berpikir bagaimana untuk menyambung hidup. Habis perkara.

Thursday, October 1, 2015

gerak, langkah, goyah

Langkah-langkah tergerak dalam irama nyanyian camar di tepian senja.
Bukan hati ingin jadi juara namun logika pasti selalu bertanya
Bukan soal keberadaan namun hakikat dari sebuah materi bukan soal das sein atau das solen, tapi soal apa dan bagaimana
Langkah-langkah bergetar dimalam kala bulan tak bercahaya
Sunyi senyap dalam jalan lurus tanpa asa
Bukan ingin menghamba pada logika tapi satu ditambah satu sementara jadi dua
Langkah-langkah goyah dalam kata berawal dari ada jadi tiada berawal dari tiada menjadi ada
Bukan proses namanya jika tidak jadi alibi semua tidak samar atau gamang hanya buta dalam kegelapan
Ah, bahkan algojonya berkata aku mencintaimu dalam gerak getar dan goyah

larungkan caci

Bukankah sudah kau layangkan tamparan itu kepadaku padahal waktu yang mengelilingiku terus berayun pada bandul waktu, menghentak ketakutan di caci hari.
Karena aku tidak mampu menghentikan masa yang terus bergetar.
Sedangkan di setiap tangis meleleh menyengat apa saja yang hanya dari muka, aku tidak peduli dan tak bisa memaknai air mata.
Aku membendung dan merobek cacianmu yang rapuh dan membusa di ujung bibir aku mengeja dan merontokkan kata dan kalimat yang kau keluarkan, tak hanya itu, aku menghadirkan kembali apa yang ingin kau beri
...kesejahteraan....
...mimpi...
...dan segala janji...
Semua itu kusiram dengan darah dan amarah, ditambah koyakan tubuh yang selalu dituntut membisu dan tidak berhak atas apapun tentangmu,, lalu kubakar, kujadikan api agar cacianmu dibawa awan dan dibaca malaikat.
Biar waktu tahu kau sering ditipu, biar waktu tahu laporannya selama ini padanya omong kosong
Kini mataku nanar disaput jelaga; pedih namun setidaknya waktu sudah kukembalikan penjaga waktu biar masa cepat lalu bersama sakit yang hilang karena maut
Tidak..
Aku tidak menangis.

Wednesday, August 5, 2015

August 5

Saya melihat kegelisahan di hari-hari belakangan. Entah, ada sesuatu dalam diri yang ingin menyeruak keluar dan menjadi penguasa atas diri saya. Barangkali saya sedang jumud dengan situasi saat ini sehingga saya membutuhkan suatu hal untuk membangkitkan semangat saya lagi. Seperti kemarin, saya harus mengajar disebuah kelas untuk karyawan baru, ada enam karyawan dalam kelas saya. Saya kurang cukup semangat kali ini, meski tidak saya tunjukkan. Setiap kali saya ingin waktu berlalu dengan cepat. Saya ingin waktu istirahat dan pulang bisa tiba dengan cepat. Entah

Tuesday, August 4, 2015

Tentang Kehadiran Diujung Waktu

Terik siang tadi adalah masa dimana aku ingin tertawa dalam deretan langkah kecil yang tercipta. Tertawa karena dia muncul diantara langkah kita, yang melaju kekiri dan kekanan, sesekali memicingkan mata kebelakang. Entah apa yang kita cari, entah apa yang kita lihat. Mungkin saja itu bayangan, atau pengintai yang penuh tanya atas situasi siang tadi. Aku dan kamu, memojokkan diri dalam ruangan sesak, kau goda aku, aku goda kau balik. kau bercerita tentang kisah dan roman picisan. kau bercerita soal usaha dan daya upaya yang terbantahkan oleh rasa. Kau bercerita tentang peluang dan bercerita tentang perjalanan pulang. Sementara aku adalah pendengar, sesekali aku berpendapat dalam himpitan pertanyaan dalam hati. Ah, barangkali suhu ruangan itu membuat otakku tidak bekerja normal, logika seakan terbunuh rasa. Aku ambil kendali atas diriku yang melesat terlalu jauh pada pertanyaan-pertanyaan menjebak. Bukan, itu hanya sebatas retorika namun bukan tanpa makna. Sempat kau tepuk pundakku, tak kuasa aku berkata. Tersenyum satu-satunya yang bisa lakukan, lalu pengalihan. Sesekali ku pandang wajahmu yang ceria penuh tawa. Lalu kubuang wajahku jika aku rasa kau mulai curiga, sebelum aku malu. Maaf jika aku menjadi pencuri, pencuri detik-detik untuk memandang wajahmu. Ada hal yang sering kali terlewatkan dalam hidup. Barangkali ini seperti kepingan puzzle yang hilang sementara waktu sudah hampir sampai pada ujungnya.

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...