Sunday, July 12, 2009

Rasa Percaya diri: Masalah Minimnya Tawaran Baru Dalam Pementasan Teater di Purwokerto

Belakangan ini proses penciptaan karya berupa pementasan teater di Purwokerto mengalami penurunan kualitas yang begitu jauh dari tahun-tahun belakangan. Penurunan ini mulai akut memasuki tahun 2009. Banyak pementasan teater di Purwokerto yang tampaknya tidak lagi memperhatikan kualitasnya. Kebanyakan hanya sekedar mengeluarkan karya dengan itensitas yang cukup sering, namun dalam penggarapannya tidak begitu maksimal sehingga banyak celah-celah yang tidak ter-eksplore secara maksimal.

Satu hal yang mungkin bisa disombongkan dan di ancungi jempol adalah semangat untuk berkarya dari beberapa komunitas. Ini terlepas dari motivasi berkaryanya. Paling tidak ini menjaga nafas teater di Purwokerto agar tetap hidup. Dengan tetap bernafasnya teater kampus di Purwokerto diharapkan dapat menjaga dinamisasi dan eksistensi teater di Purwokerto.

Kembali ke masalah kualitas pementasan. Harus diakui memang, semangat untuk berkarya terasa kurang lengkap tanpa di imbangi dengan kualitas yang sepadan. Hal ini menimbulkan asumsi: “jangan-jangan teman-teman hanya beronani, begitu pentas, puas, selesai sudah.” Ekstase-ekstase semacam inilah yang harus diwaspadai bagi semua insan teater Purwokerto. Sebab, jika memang benar demikian adanya, maka teater di Purwokerto tinggal menunggu waktu saja untuk ber-harakiri dalam waktu yang bersamaan.

Jika meruntut beberapa dan menganalisa beberapa pementasan pada tahun 2009 ini, dapat dilihat beberapa hal yang menjadi faktor penurunan kualitas pementasan teater di Purwokerto. Faktor yang paling utama dan itu cukup membuat resah adalah kurangnya rasa percaya diri dari insan teater untuk menunjukkan idenya secara maksimal. Kurangnya rasa percaya diri ini bisa muncul karena beberapa sebab. Pertama adalah, insan teater kurang menguasai wacana dan skill keteateran sehingga tidak yakin dengan ide yang ingin dikeluarkan. Ini bisa jadi sebuah aksioma yang terjadi. Dalam beberapa diskusi pasca pementasan ini begitu terlihat. Insan teater begitu rapuh dalam hal wacana dan skill keteateran sehingga seringkali terjebak dalam hal-hal teknis yang agak kurang substansial jika terlalu di perdebatkan. Kedua adalah, kecenderungan intervensi yang berlebihan dari generasi tua terhadap ruang belajar generasi muda. Generasi tua dalam sebuah komunitas maupun dari luar komunitas seharusya bisa lebih menyadari peran dan posisinya. Keberadaan generasi tua di depan generasi muda terkadang memunculkan mental ciut dari generasi muda untuk mengeksplore secara maksimal ide dan gagasannya. Mental ciut inilah yang akhirnya menurunkan rasa percaya diri untuk berani memunculkan ide orisinilnya. Ini bisa makin parah jika muncul penokohan terhadap suatu figur dalam komunitas. Adanya penokohan yang kemudian menjadi acuan dalam berkarya berpotensi terhadap mandulnya ide-ide baru yang lebih segar. Karena pementasan teater yang menarik adalah pementasan yang mampu memberi ide, wacana, dan konsep yang baru kepada audience.

Konsep penciptaan karya dengan menggunakan konsep teater sutradara dimana semua konsep berujung pada sutradara dengan ide orisinilnya bisa jadi salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini. Namun lagi-lagi, ini terbentur dengan keberanian untuk mendobrak budaya kolektivitas yang seakan-akan sudah menjadi langgam baku dalam proses penciptaan karya teater di Purwokerto.

Semua memang menjadi sebuah pilihan yang haru dijalani. Satu hal yang pasti adalah jangan sampai teater di Purwokerto akan ber-harakiri secara massal. Jika sudah begini, mau apa kita?

No comments:

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...