Tuesday, July 7, 2009

Itu Evaluasi atau Apresiasi?!

Karya seni pada hakekatnya adalah
suatu getaran kehidupan yang berproses kalau bersentuhan
dengan manusia penikmatnya

-Putu WIjaya-

Salam Seni untuk Keberpihakan!
Dunia pementasan teater tidak pernah lepas dari dunia sebenarnya. Beberapa orang menyebutkan bahwa teater merupakan gambaran sebuah realitas, namun beberapa orang lain mengatakan bahwa teater adalah refleksi realitas. Refleksi disini berarti sebuah proses perenungan akan sebuah realitas kemudian hasil perenungan itu ditampilkan dalam bentuk pementasan teater. Untuk itulah dalam pandangan teater adalah refleksi realitas, pengkarya sebuah pementasan teater bisa membolak-balik makna sebuah realitas, bola bisa kotak, persegi bisa bulat, atau misal dalam bentuk yang satire, yang bertujuan untuk memberi pandangan lain dari sebuah realitas.
Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, tampaknya keduanya menyepakati bahwa kenyataan atau realitas dalam sebuah kehidupan memegang peranan penting dalam pementasan teater. Bahkan realisme teater-pun berangkat dari sebuah kegelisahan dan kritisisme atas tata sosial aristokrasi gereja dan borjuasi bangsawan pada kisaran abad ke-16 yang menyembunyikan borok dan manipulasi, dipandang telah berkembang ke dalam tata yang mapan yang menyembunyikan borok dan manipulasi yang lain. Dalam pandangan surealis atau bahkan dalam absurditas sebuah pementasan teater-pun, realitas tetap memegang peranan sebagai landasan atas kegelisahan dalam menciptakan sebuah pementasan teater.
Saat saya menulis opini inipun saya berangkat dari kegelisahan saya atas apa yang terjadi dan saya alami. Kegelisahan yang sudah lama menjangkiti hati, pikiran, dan kelamin saya yang lama-lama tidak bisa saya pendam. Atau dengan kata lain saya tidak puas hanya dengan beronani sendiri tanpa membagi hasrat kegelisahan saya kepada teman-teman yang lain. Kegelisahan ini mulai terasa ketika saya sudah agak lama bergelut didunia teater kampus. Saya sangat menyukai dunia teater dan bagi saya, saat saya menonton sebuah pementasan teater, saya berharap akan mendapatkan pencerahan dari nilai atau pesan yang disampaikan lewat media teater. Apalagi ditambah dengan forum yang biasa digelar oleh pengkarya pementasan setelah pementasan usai, saya berharap mendapat lebih banyak lagi pencerahan dari diskusi dalam forum tersebut. Namun, apa lacur, selama empat tahun saya hidup didunia teater kampus, saya tidak pernah melihat adanya perkembangan atau minimal perubahan dalam memaknai sebuah forum pasca pementasan.
Ketika saya menjajaki dunia teater kampus, saya mengenal forum pasca pementasan sebagai forum apresiasi, namun selanjutnya dan sampai sekarang forum tersebut menjadi forum evaluasi. Satu hal yang saya heran, sebenarnya fungsi dari forum tersebut itu apa? dan peran penonton dalam sebuah pementasan teater itu seperti apa? Untuk itulah mari kita coba meredefinsi kembali pemaknaan kita atas forum pasca pementasan.
Bagi saya –mungkin turut diamini beberapa orang- saat saya hadir atau menonton sebuah pementasan teater, niat yang saya punya adalah menonton, menikmati, dan memperoleh sesuatu pencerahan atas pesan yang disampaikan. Jadi, seharusnya orang yang datang dalam sebuah pementasan teater menyadari betul dirinya adalah penonton atau dalam bahasa Putu Wijaya sebagai “manusia penikmat” dan bukan sebagai penilai. Lain ceritanya jika dalam sebuah festival atau perlombaan teater, memang ada orang yang berperan sebagi penilai. Jadi, aneh ketika seorang penonton dalam sebuah forum pasca pementasan menilai sebuah pementasan yang baru saja ditonton layaknya juri dalam festival teater yang mencatat tiap kesalahan teknis kemudian menyampaikannya dalam forum pasca pementasan (atau mungkin memang orang tersebut punya obsesi menjadi juri: who knows?!?).
Menurut saya, setiap orang punya konsep berteater sendiri serta parameter sendiri untuk melihat atau menilai sebuah pementasan teater dan kedua hal tersebut tidak bisa dipaksakan terhadap orang lain, karena orang lain juga memiliki konsep dan parameter sendiri pula. Untuk itulah penilaian hal-hal teknis dalam sebuah forum pasca pementasan agaknya kurang tepat untuk di terapkan. Hal ini karena perbedaan parameter tadi yang akan sulit sekali dipertemukan antara pandangan satu orang dengan orang lainnya. Pembicaran teknispun sebenarnya sudah rampung saat proses ditingkatan tim panggung atau pengkarya, dan saat pementasan bukan soal teknis yang menjadi inti pementasan tetapi teater sebagai salah satu media atau saluran komunikasi yang berfungsi untuk menyampaikan sesuatu pesan. Memang tidak haram, tidak salah, tidak dilarang membicarakan hal teknis, namun lebih baik dibicarakan dalam ruang lain yang lebih sesuai, karena yang terjadi selama ini adalah adanya proses justifikasi terhadap pengkarya oleh penonton. Justifikasi ini yang saya lihat sangat dogmatis, yaitu berbicara benar dan salah, indah atau tidak indah. Saya jadi kembali bertanya: memangnya kebenaran milik siapa? dan apakah pemaknaan keindahan tiap orang sama?
Berbicara soal ruang yang sesuai, saya jadi teringat akan kalimat yang dilontarkan olah kawan dari salah satu teater kampus di Purwokerto saat berdiskusi pasca pementasan “NKRI” oleh teater Wungu Fak. Psikologi UMP, kawan tersebut melontarkan kalimat yang kurang lebih berbunyi “.....saya kira teman-teman teater Purwokerto sudah bisa lebih dewasa untuk tidak membicarakan hal-hal teknis di forum ini (baca: forum pasca pementasan) dan bisa membicarakannya di forum yang berbeda..... dan mari kita membicarakan hal yang yang lebih menyangkut isi pementasan......” (maaf jika ada reduksi, tapi kurang lebih seperti itu bunyinya). Agaknya saya sepakat dengan pendapat kawan tersebut, karena bagi saya substansi atau content dari pementasan itulah yang lebih menarik untuk diperbincangkan ketimbang mengurusi masalah sorot lampu yang kurang kekiri atau gesture aktornya yang masih kaku. Karena pementasan teater, sekali lagi, membawa pesan atau nilai yang ingin disampaikan dan nilai itu akan menjadi getaran kehidupan ketika bersentuhan dengan manusia penikmat (putu wijaya). Disinilah letak peran penonton sesungguhnya, yaitu membantu merangsang getaran akan pesan atau nilai dalam sebuah pementasan teater. Pentingnya penonton dalam memberi getaran makna adalah karena pengkarya sudah tidak dibutuhkan lagi dalam memberi penjelasan terhadap penonton mengenai isi pementasan, atau dalam bahasa Roland Barthes yaitu “pengarang sudah mati”. Artinya, penonton bebas memaknai pesan atau nilai-nilai yang ada dalam pementasan tersebut dan karya pun berdiri sendiri. Untuk itulah diperlukan forum diskusi untuk membincangkan nilai, pesan atau makna yang terkandung dalam sebuah pementasan teater agar ketika pulang seorang penonton mendapatkan sesuatu yang (semoga) dapat mencerahkan dirinya. Disinilah fungsi dari forum apresiasi.
Akhirnya, mari kita kembali meredifinisi forum pasca pementasan sebagai forum apa dan seperti apa? Evaluasi? Atau apresiasi? Sebagai penonton, apakah kita punya kapasitas untuk mengevaluasi? Apakah kita seorang Putu Wijaya? W.S.Rendra? Arfrizal Malna? Richard Schechner? Kathakali? Butet Kertarajasa? Sosiawan Leak? Jerzy Grotowski? Stanislavski? Atau kita sudah merasa yakin dengan segala kemampuan berteater yang kita miliki sehingga bisa menilai pementasan orang lain dengan paremeter yang kita punya? Saya rasa, tentunya kita lebih punya hak untuk mengapresiasi ketimbang mengevaluasi.
Marilah kita merenung bersama, berteater, sekali lagi adalah proses dialektika kita dengan kehidupan, bukan dialektika kita dengan posisi lampu, volume musik atau akting seorang aktor. Posisi lampu, volume musik, gesture aktor agaknya lebih tepat untuk kita asah ketimbang kita perdebatkan. Lagipula, itu semua hanyalah pelengkap dari substansi sebenarnya yang seharusnya kita dialektikakan. Maaf jika saya lancang,... Salam Seni Untuk Keberpihakan!!!

No comments:

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...