Tuesday, July 7, 2009

Mari Mengkritik

“Seni tanpa kritik bagaikan sebuah mayat hidup.
Seni tidak akan berkembang jika sekelompok orang hanya bisa memuji, maka sekelompok orang tersebut hanya akan beronani dan ekstase sesaat.”



Demikianlah kalimat yang dilontarkan seorang kawan dalam sebuah obrolan ringan di sudut Taman Ismail Marzuki November silam. Kalimat itu cukup membuat bulu kuduk saya merinding. Entah karena suasan mistis yang terbangun saat itu atau memang terjadi pergulatan batin dalam diri saya.

Sepersekian detik pikiran saya berucap “di Purwokerto seperti apa?” Sepersekian detik kemudian pikiran tersebut hilang lagi. Entah karena tersapu angin malam kota Jakarta yang cukup dingin atau memang tidak ada yang cukup substansial dalam pikiran yang melintas tadi.

Lama setelah kejadian itu, pikiran itu muncul kembali dan terlintas ketika saya sedang bergumul dengan dunia teater. Saya berusaha untuk melupakan pikiran-pikiran itu, tapi hati pikiran, dan kelamin saya tak kuasa untuk menahan pikiran-pikiran itu untuk datang kembali.

Semenjak itu saya selalu mencoba untuk mencari tentang misteri dari pikiran-pikiran yang selalu melintas dalam pikiran saya. Pikiran yang sebenarnya sangat sederhana. Pikiran yang mungkin hanya remeh temeh. Pikiran yang mungkin tidak penting bagi kebanyakan orang.

Putu Wijaya dalam buku “Putu Wijaya: Sang Teroris Mental” mengatakan bahwa “kritik memberi daya rangsang pertumbuhan kesenian, ia seperti pupuk batin yang menggenjot perkembangan kesenian dari dalam sehingga potensinya bisa menyeruak dahsyat sampai ke batas-batas maksimalnya”. Kalimat itu seakan member pencerahan bagi saya untuk mengungkap misteri dari pikiran-pikiran nakal saya.

PURWOKERTO MINIM TUKANG KRITIK: itulah asumsi awal yang saya dapat sampai dengan ini. Meskipun ada dengan jujur saya mengatakan bahwa: “kritikan yang selama ini muncul, khususnya dalam forum-forum teater belum sampai pada titik esensi. Semua masih berkutat dipermukaan. Belum ada yang cukup berani untuk masuk sampai ketitik yang memang bisa membangkitkan semangat proses penciptaan karya yang berbeda, dahsyat, membuat bulu kuduk merinding.”

Saya sangat berharap bahwa asumsi saya salah. Untuk itu saya coba menelaah lagi, sebenarnya apa yang menjadi dasar saya mengeluarkan asumsi saya. Ada beberapa hal ternyata. Pertama, mungkin kawan-kawan belum terlalu berani karena merasa belum memiliki wawasan yang cukup. Merasa belum memilki landasan dan kemampuan yang cukup. Kedua, mungkin karena kedekatan emosional kawan-lawan teater Purwokerto yang sangat erat, sehingga ada rasa teduh pekewuh dalam diri kawan-kawan teater Purwokerto. Ketiga, mungkin karena ada GAP diantara kawan-kawan teater Purwokerto yang membuat kawan-kawan ogah untuk banyak bicara lalu memilih diam dan acuh. Kalaupun benar ada GAP, saya sangat sepakat jika GAP yang diciptakan berdasarkan landasan yang kuat . Misalnya GAP atas dasar ideologi atau hal lain yang lebih prinsipil. Namun jika GAP muncul karena rasa iri atau hal lain yang yang sifatnya sentimen perasaan, maka kita perlu berpikir lebih bijak dalam menanggapi hal itu.. Keempat, mungkin ini karena dominasi orang-orang tua yang kurang bijaksana untuk memberi ruang kepada yang muda untuk berkembang dan beraktualisasi secara bebas.

Demikian yang bisa saya keluarkan dari tiap rongga otak saya yang penuh dengan pikiran-pikiran nakal. Semoga dengan kritik, teater Purwokerto dapat lebih arif dan bijaksana. Semoga dengan kritik teater Purwokerto dapat banyak belajar dan memahami tiap gejala yang ada di lingkungan sosial kita dan lebih sensitif terhadap gejala yang lahir dalam proses penciptaan karya.

No comments:

12 Hari Yang Menyiksa

Hai, apa kamu pernah tersiksa dalam rindu? Rindu, iya rindu. R I N D U  Kata itu, lima huruf dengan dua frasa yang sungguh menyiksa. Apakah ...